Sunday, January 26, 2020

Melepas Cahaya


Namanya cahaya, kata Tya padaku waktu itu. Lalu dia tersenyum curiga padaku.“Naksir ya?” Godanya masih dengan senyuman yang membuatku serba salah. Aku lalu permisi dan mengucapkan terima kasih sambil meninggalkan Tya yang masih melongo karena pertanyaannya tak ku tanggapi.
Ternyata gadis pagi tadi namanya cahaya. Senyumannya manis, wajahnya ayu, putih dan berjilbab. Cahaya, nama yang indah, lirihku pelan. Sambil menyusuri lorong kampus aku senyum-senyum sendiri lalu memukul-mukul kepalaku, sejak kapan aku bisa menilai dan memuji wanita seperti ini. Ah, sialan. Bagaimana bisa ini terjadi padaku. Tapi sudahlah, tugasku hanya menikmatinya. Tak lama berlesang aku memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Tak ada hari yang luput dari perhatianku padanya. Pagi yang menelan gelap, siang yang bercengkarama dengan panas, senja yang berwarna jingga, malam yang mengusur pagi, hujan yang melukis pelangi ataupun panas yang mengoreng bumi, semuanya kuukir dengan senyuman, sebab dia cahaya baruku. Aku yakin aku sudah jatuh cinta padanya. Dia cahaya, gadis sederhana yang membuatkan puisi-puisi untukku, gadis yang membangunkan dalam setiap azan subuh berdendang. Gadis yang ku cintai dengan sederhana. Lebih sederhana dari kata itu sendiri. 

Begitu juga dengan hubungan ini, kami jalani dengan sederhana.Ternyata cahaya suka sastra, kami sama-sama suka sastra. Sering dia minta aku untuk membuatkan puisi untuknya, begitu juga sebaliknya. Aku akui puisi Cahaya jauh lebih bagus dari karyaku. Kita sering bertukar pengetahuan tentang sastra. Karya-karyanya acapkali termuat dalam Koran dan majalah lokal. Sering, tidak Cuma sekali atau dua kali, dia mengajakku makan diluar jika mendapat honor dari karya-karyanya. Aku pernah iseng mananyakan padanya kenapa mesti honor dari hasil karyanya dia habiskan dengan harus mentraktirku makan diluar, dirumah makan mahal lagi. Sekali-kali tak masalah kan kita makan enak, katanya dengan muka cengegesan. “Ya, tapi kan ga selalu mentraktir aku makan. Honornya kan bisa ditabung buat apa ke” bela ku. Dia diam, lalu “Kau inspirasiku Arya, wajarkan jika aku merayakan semuanya dengan sumber inspirasiku. Jika tak ada inspirasi, jika tak ada kamu karya ini tak akan pernah ada” jawabnya dengan muka serius. Aku kalah, dia memang lebih jago membuatku terdiam dengan susunan redaksi kata yang dia lahirkan dari mulutnya. Dia memang maniak dalam menata huruf-huruf menjadi susunan kalimat, dan membuatku sering diam tak melawan. Malahan jika sedang kumat jiwa senimannya, dia membabibuta merayuku dengan gombal. Merayuku dengan kata-kata yang membuatku seakan-akan merasa menjadi lelaki yang paling beruntung. 

Selama ini memang tak ada kalimat resmi yang keluar dari mulut kami masing-masing bahwa aku mencintainya atau dia mencintaku. Aku menyimpulkan bahwa rasa itu rasa. Tugas kita hanya merasakan. Tak perlu diungkapkan, tak perlu didiskusikan. Aku tak ingin kami terjebak pada nama sebuah hubungan, karna nama kadang menyesatkan manusia dari substansi dan esensi itu sendiri. Bagiku pengertian itulah yang paling penting. Apalagi cahaya sendiri tak pernah mempermasalahkan hubungan kami ini. Aku kira dia sangat mengerti. Dia jua tak pernah sekalipun menyinggung tentang hubungan kami.

Namun, sejak sore itu. Saat Tya menghampiriku setelah selesai mata kuliah Akutansi. Dia menceritakan denganku bahwa ternyata Dardi, sahabat dekatku, menyukai cahaya. Dan dia sudah beberapa kali menyatakan perasaannya ke cahaya. Tya memintaku untuk secepatnya memastikan hubunganku dengan cahaya. Aku dalam kegalauan, dalam kebimbangan. Dia mendesakku dalam posisinya yang tak nyaman. Tak mungkin aku menyatakan perasaanku dengan wanita yang ternyata selama ini disukai oleh sahabatku. Semalam suntuk aku bertarung dalam perasaan ini. Menempatkan aku pada dua pilihan yang tak bisa membuatku lega. Kurebahkan badanku dibantal berkapuk. Dan menemui mimpi-mimpiku yang akhir-akhir ini lapuk. Akhirnya pada kesimpulan, aku menyerah tepatnya mengalah. Bagaimanapun, persahabatan tetaplah pilihan yang harus kuprioritaskan. Tiba-tiba satu pesan masuk ke hp-ku. Ku buka. Seperti biasa, puisi Cahaya sebelum tidur. Aku matikan handphone-ku. Puisi indah itu mendadak berubah begitu asing sekarang.

*****
Suatu saat aku diundang teman-teman satu angkatanku pada acara reuni kecil-kecilan ke pantai. Rindu juga dengan mereka, sahabat-sahabat lama, terutama cahaya. Pertama aku datang kepantai, wajahnya lah yang ingin kulihat pertama kali. Lama, akhirnya kutemukan juga wujudnya. Beberapa kali aku mencoba mengingat diksi yang tepat untuk mengambarkan suasana saat ini. Suasana yang paling aku inginkan sejak kebekuan kami dulu. Dia masih seperti dulu, cantik. Hanya Tuhan yang tau bagaimana ia bisa berdandan secantik itu. Semua kenangan kembali datang ke memoriku. Aku kembali memakan kenangan, menanaman harapan. Aku ingin mengembalikan banyak halaman. Tentang cerita yang belum dituntaskan. Tentang luka yang belum sempat kuceritakan. Wajah putih terbungkus jilbab, masih seperti pertama kali saat ku ajak dia jalan-jalan ketoko buku untuk membelikan buku buat hadiah ulang tahunnya. Kau yang harus memilihkannya untukku, katanya menolak saat kutawarkan untuk memilih sendiri buku yang dia suka. Bukankah itu hadiah untukku darimu. Jika aku yang memilih sendiri berarti itu hadiah yang ku inginkan, bukan yang ingin kau berikan. Aku membisu dan bergegas menjauh mencari-cari buku yang tepat untuknya. Lama aku berjubel dengan banyak buku-buku baru. Pilihanku akhirnya jatuh pada buku berwarna cerah jingga. Ini untukmu, kataku hati-hati mencoba sedikit memberi kesan romantis. Sikap yang sangat dipaksakan. Dia tersenyum geli, Manahan tawa.
“Buku yang kupilih dengan penuh peluh keringat dan perjuangan yang sangat melelahkan” Candaku ringan
“mana, coba liat”. Perlahan tulisan cover bukunya ku buka dengan irama persis pesulap yang membuka kartu. Sangat pelan, sangat hati-hati. Seakan takut kalau ada yang mengintip. Tak ingin ada yang tau selain dia dan aku. “Selamat Ulang Tahun, Sayang” begitu jelas sekali tulisan itu tertulis dengan Theme Fonts yang lucu dan unik. Ditambah gambar hati berwarna merah terpampang jelas menguasai kertas. Dia tersenyum manis. Senyuman yang hingga saat ini membuatku candu. Dan sepanjang ingatanku tak pernah kulihat senyuman semanis itu.

Saat matahari menepi, warna jingga mulai menampakan keindahannya. Ku duduk sendiri dibibir pantai, tiba-tiba sosok yang tak berani kusapa sejak tadi ikut duduk disampingku. Aku menunduk. Ah, sial kenapa mesti dia yang dulu menghampiriku. Dasar  laki-laki pengecut, hardikku dalam hati.
“Apa kabar” tanyanya memulai pembicaraan
“Baik” jawabku kaku, datar. Masih menunduk.
Lama percakapan itu terhenti. Dan lagi-lagi aku kalah, tak berani memulai sapa. Rasa gugup yang sedari tadi memuncak kini tinggal menunggu ledakannya.
“Sebentar lagi matahari akan terbenam ya” Katanya lagi
“Iya” masih dingin.
“Kau suka sunset?” tanyanya padaku
Aku terdiam cukup lama.
“Tidak” jawabku pendek, akhirnya meledak juga. 
“Kenapa?”
“Sebab dia meninggalkan bumi”
“Tapi bukankah besok dia akan hadir lagi menyinari bumi”
“Betul, tapi dengan cahaya yang berbeda”
“Tapi dia tetaplah matahari yang kemarin kan”
“Tetap saja dia meninggalkan”
Dia menghela nafas panjang.
“yaaa….Kadang bumi merasa bahwa mataharilah yang meninggalkanya. Mataharilah yang merebut terangnya. Padahal tidak, dia selalu ada untuk bumi. Meski malam dia tetap memberikan cahayanya lewat bulan. Bumi saja yang tak sadar, tak merasa kehadirannya. ”Aku diam. Dia diam. 
“Arya….” katanya datar. Aku masih diam.
Kini aku berani memandang wajahnya dengan jarak yang dekat. Ya Tuhan, dia benar-benar cantik. Bola mata yang hitam. Bulu mata yang lentik. Tapi mendadak kutemukan butiran air bening perlahan mengenangi sisi matanya yang sayu. Aku tertahan. Tak sanggup lagi bernafas dengan normal. Dia menangis. Menangis untuk alasan yang tak ku tau.
“Tolong” katanya dengan nada yang tertahan. “Nanti, dari hari ini. Jangan lagi menjadi bumi. Jadilah matahari, matahari tak akan pernah terpisah dengan cahayanya sendiri. Jika dia hilang, cahayanya pun hilang. Jika dia hancur, cahayanya pun akan hancur. Tak akan ada yang meninggalkan dan ditinggalkan.. Matahari tak akan pernah meninggalkan cahayanya. Dia selalu mengajaknya kemanapun dia berkunjung. Entah itu kebumi, kelaut, kepantai, kedanau atau bahkan ketempat yang tak pernah mereka kunjungi. Dia selalu ada untuk cahaya dan cahaya akan selalu bersama matahari. Tak peduli ada yang ingin meminangnya bahkan merengutnya sekalipun. Matahari dan cahayanya adalah dua unsur yang menyatu.” Isaknya makin menipis dan jelas sekali suara yang ditahan sekuat tenaga.
“ Minggu depan aku nikah” katanya sambil berdiri sambil mengusap matanya perlahan. Aku kaku, membeku. Ku tatap perlahan wajahnya sekali lagi. Salah dengarkah aku? Bercandakah dia?
“Datang ya” Kini senyum hambar. “Ini permintaan terakhirku”. Ya,aku tak salah dengar. Dia tak bercanda. Aku diam. Hanya diam. Ingin rasanya aku lari kelaut. Untuk meyakinkan bahwa ini hanya mimpi. Tapi, “Terima kasih untuk puisinya. Dan maaf. Aku pastikan, aku tak akan sempat lagi membuatkan puisi untukmu. Sebab imajinasiku sudah pergi” Senyuman yang masih hambar, senyum yang asing. Lalu dia menghilang seiring hilangnya cahaya matahari, seiring hilangnya Cahayaku. Saatnya aku benar-benar melepas cahayaku, memberikan cahayaku.. Mendadak aku rindu Tuhan.


Banjarmasin, 03 Nopember 2011. Jam 03 : 11 Dalam Kamar Mungil.

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Text Widget

Followers