Thursday, December 24, 2015

SAYA HADIR, BUKAN MERAYAKAN NATAL



Entah kenapa dalam setiap kesempatan jika orang bertanya tentang keluarga, saya sangat mudah sekali untuk menceritakan bahwa saya lahir dari rahim seorang ibu yang mullaf. Bercerita, bahwa Ibu dan beberapa sepupu dan adik di keluarga beliau juga banyak yang memilih Islam. Berbagi, bahwa nenek dan kakek serta paman dan bibi saya masih teguh memeluk agama mereka, kristen. Paman, bibi dan ibu yang dulu menjadi musisi-musisi gereja. Yah, seperti ada kebanggan tersendiri bagi saya. Bangga bahwa melalui pernikahan ayah dan ibu ini, Tuhan seperti membuat design yang spesial bagi saya. Kebanggan yang tidak banyak di alami teman-teman saya yang mayoritas Islam, karena memang beberapa keturunan nenek moyang dulu mereka sudah Islam sejak lama. 

Bisa dibayangkan memiliki keluarga yang berbeda agama tentu bagi saya ketika masih kecil bukan hal yang mudah. Sempat dulu terpikir oleh willy kecil bahwa dia adalah sosok yang memiliki badan sebelah beragama Islam dan sebelah beragama Kristen. Bahkan, selama 3 tahun sejak saya masuk dan belajar di sebuah pesantren, saya tidak pernah lagi mengunjungi kakek nenek saya yang non-muslim. Kadang seperti jijik makan mengunakan alat makan mereka, yang siapa tau pernah digunakan untuk makanan yang diharamkan oleh agama saya. Kadang merasa risih harus sholat di rumah yang banyak terpampang gambar yesus dan simbol-simbol kristen lainnya. 

Namun, dengan berjalannya waktu. Dengan banyaknya dinamika hidup yang saya lewati. Dengan banyak bertanya dan belajar, saya akhirnya berada pada kesimpulan yang saya kira ini jawaban yang saya cari dan saya butuhkan. Yah, ini bukan proses yang mudah bagi saya. Saya sangat yakin, proses yang saya jalani ini tentu tidak lepas dari petunjuk Allah. Saya belajar bagaimana saya harus bertoleransi, belajar bagaimana perbedaan agama bukan justru menjadi penghalang bagi terjalinnya silaturrahmi antar keluarga.
Sekarang saya hadir dan berkumpul saat keluarga saya, pihak ibu yang mayoritas non-muslim, merayakan natalnya. Bercengkara dan saling bertukar kisah dengan meraka, karena momentum berkumpulnya semua kelurga kalau tidak kawinan ya natal. Hadir bukan berarti saya datang dan kemudian mengucapkan Selamat Natal pada mereka. Karena bagi saya mengucapkan natal sama dengan meng-imani bahwa Yesus adalah Tuhan, dan keluarga saya mafhum soal ini. Hadir dan berkumpul bukan berarti bentuk saya setuju dengan keyakinan mereka, bukan menunjukkan sikap bahwa saya mengamini perayaan mereka. Momentum ini saya anggap sebagai bentuk sosial bukan bentuk ritual, bentuk silaturrahmi antara anak dan orangtua, antara cucu dan nenek, antara cucu dan kakek, antara keponakan dan paman yang memang harus terjaga.
Begitu juga sebaliknya, ketika kami merayakan Hari Raya Iedul Fitri, jika ada kesempatan keluarga non-muslim biasayan juga berkunjung dan berkumpul dengan kami yang Islam. Ya, saya kira ini keharmonisan hubungan yang sudah seharusnya terus dijaga. Sekali lagi, saya betul-betul bangga. Bangga, bahwa dengan kondisi ini saya banyak belajar tentang toleransi. Bangga, karena tidak semua orang bisa mudah melakukan dan menerima ini. Bangga, bahwa saya lahir sebagai Muslim dan belajar Islam yang cinta dan memerintahkan umatnya untuk terus menjaga perdamaian. Namun juga tetap selalu menjaga akidahnya. Wallahu A’lam.

Powered by Blogger.

Text Widget

Followers