Sunday, January 26, 2020
Melepas Cahaya
Namanya cahaya, kata Tya padaku waktu itu. Lalu dia tersenyum curiga padaku.“Naksir ya?” Godanya masih dengan senyuman yang membuatku serba salah. Aku lalu permisi dan mengucapkan terima kasih sambil meninggalkan Tya yang masih melongo karena pertanyaannya tak ku tanggapi.
Ternyata gadis pagi tadi namanya cahaya. Senyumannya manis, wajahnya ayu, putih dan berjilbab. Cahaya, nama yang indah, lirihku pelan. Sambil menyusuri lorong kampus aku senyum-senyum sendiri lalu memukul-mukul kepalaku, sejak kapan aku bisa menilai dan memuji wanita seperti ini. Ah, sialan. Bagaimana bisa ini terjadi padaku. Tapi sudahlah, tugasku hanya menikmatinya. Tak lama berlesang aku memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Tak ada hari yang luput dari perhatianku padanya. Pagi yang menelan gelap, siang yang bercengkarama dengan panas, senja yang berwarna jingga, malam yang mengusur pagi, hujan yang melukis pelangi ataupun panas yang mengoreng bumi, semuanya kuukir dengan senyuman, sebab dia cahaya baruku. Aku yakin aku sudah jatuh cinta padanya. Dia cahaya, gadis sederhana yang membuatkan puisi-puisi untukku, gadis yang membangunkan dalam setiap azan subuh berdendang. Gadis yang ku cintai dengan sederhana. Lebih sederhana dari kata itu sendiri.
Begitu juga dengan hubungan ini, kami jalani dengan sederhana.Ternyata cahaya suka sastra, kami sama-sama suka sastra. Sering dia minta aku untuk membuatkan puisi untuknya, begitu juga sebaliknya. Aku akui puisi Cahaya jauh lebih bagus dari karyaku. Kita sering bertukar pengetahuan tentang sastra. Karya-karyanya acapkali termuat dalam Koran dan majalah lokal. Sering, tidak Cuma sekali atau dua kali, dia mengajakku makan diluar jika mendapat honor dari karya-karyanya. Aku pernah iseng mananyakan padanya kenapa mesti honor dari hasil karyanya dia habiskan dengan harus mentraktirku makan diluar, dirumah makan mahal lagi. Sekali-kali tak masalah kan kita makan enak, katanya dengan muka cengegesan. “Ya, tapi kan ga selalu mentraktir aku makan. Honornya kan bisa ditabung buat apa ke” bela ku. Dia diam, lalu “Kau inspirasiku Arya, wajarkan jika aku merayakan semuanya dengan sumber inspirasiku. Jika tak ada inspirasi, jika tak ada kamu karya ini tak akan pernah ada” jawabnya dengan muka serius. Aku kalah, dia memang lebih jago membuatku terdiam dengan susunan redaksi kata yang dia lahirkan dari mulutnya. Dia memang maniak dalam menata huruf-huruf menjadi susunan kalimat, dan membuatku sering diam tak melawan. Malahan jika sedang kumat jiwa senimannya, dia membabibuta merayuku dengan gombal. Merayuku dengan kata-kata yang membuatku seakan-akan merasa menjadi lelaki yang paling beruntung.
Selama ini memang tak ada kalimat resmi yang keluar dari mulut kami masing-masing bahwa aku mencintainya atau dia mencintaku. Aku menyimpulkan bahwa rasa itu rasa. Tugas kita hanya merasakan. Tak perlu diungkapkan, tak perlu didiskusikan. Aku tak ingin kami terjebak pada nama sebuah hubungan, karna nama kadang menyesatkan manusia dari substansi dan esensi itu sendiri. Bagiku pengertian itulah yang paling penting. Apalagi cahaya sendiri tak pernah mempermasalahkan hubungan kami ini. Aku kira dia sangat mengerti. Dia jua tak pernah sekalipun menyinggung tentang hubungan kami.
Namun, sejak sore itu. Saat Tya menghampiriku setelah selesai mata kuliah Akutansi. Dia menceritakan denganku bahwa ternyata Dardi, sahabat dekatku, menyukai cahaya. Dan dia sudah beberapa kali menyatakan perasaannya ke cahaya. Tya memintaku untuk secepatnya memastikan hubunganku dengan cahaya. Aku dalam kegalauan, dalam kebimbangan. Dia mendesakku dalam posisinya yang tak nyaman. Tak mungkin aku menyatakan perasaanku dengan wanita yang ternyata selama ini disukai oleh sahabatku. Semalam suntuk aku bertarung dalam perasaan ini. Menempatkan aku pada dua pilihan yang tak bisa membuatku lega. Kurebahkan badanku dibantal berkapuk. Dan menemui mimpi-mimpiku yang akhir-akhir ini lapuk. Akhirnya pada kesimpulan, aku menyerah tepatnya mengalah. Bagaimanapun, persahabatan tetaplah pilihan yang harus kuprioritaskan. Tiba-tiba satu pesan masuk ke hp-ku. Ku buka. Seperti biasa, puisi Cahaya sebelum tidur. Aku matikan handphone-ku. Puisi indah itu mendadak berubah begitu asing sekarang.
*****
Suatu saat aku diundang teman-teman satu angkatanku pada acara reuni kecil-kecilan ke pantai. Rindu juga dengan mereka, sahabat-sahabat lama, terutama cahaya. Pertama aku datang kepantai, wajahnya lah yang ingin kulihat pertama kali. Lama, akhirnya kutemukan juga wujudnya. Beberapa kali aku mencoba mengingat diksi yang tepat untuk mengambarkan suasana saat ini. Suasana yang paling aku inginkan sejak kebekuan kami dulu. Dia masih seperti dulu, cantik. Hanya Tuhan yang tau bagaimana ia bisa berdandan secantik itu. Semua kenangan kembali datang ke memoriku. Aku kembali memakan kenangan, menanaman harapan. Aku ingin mengembalikan banyak halaman. Tentang cerita yang belum dituntaskan. Tentang luka yang belum sempat kuceritakan. Wajah putih terbungkus jilbab, masih seperti pertama kali saat ku ajak dia jalan-jalan ketoko buku untuk membelikan buku buat hadiah ulang tahunnya. Kau yang harus memilihkannya untukku, katanya menolak saat kutawarkan untuk memilih sendiri buku yang dia suka. Bukankah itu hadiah untukku darimu. Jika aku yang memilih sendiri berarti itu hadiah yang ku inginkan, bukan yang ingin kau berikan. Aku membisu dan bergegas menjauh mencari-cari buku yang tepat untuknya. Lama aku berjubel dengan banyak buku-buku baru. Pilihanku akhirnya jatuh pada buku berwarna cerah jingga. Ini untukmu, kataku hati-hati mencoba sedikit memberi kesan romantis. Sikap yang sangat dipaksakan. Dia tersenyum geli, Manahan tawa.
“Buku yang kupilih dengan penuh peluh keringat dan perjuangan yang sangat melelahkan” Candaku ringan
“mana, coba liat”. Perlahan tulisan cover bukunya ku buka dengan irama persis pesulap yang membuka kartu. Sangat pelan, sangat hati-hati. Seakan takut kalau ada yang mengintip. Tak ingin ada yang tau selain dia dan aku. “Selamat Ulang Tahun, Sayang” begitu jelas sekali tulisan itu tertulis dengan Theme Fonts yang lucu dan unik. Ditambah gambar hati berwarna merah terpampang jelas menguasai kertas. Dia tersenyum manis. Senyuman yang hingga saat ini membuatku candu. Dan sepanjang ingatanku tak pernah kulihat senyuman semanis itu.
Saat matahari menepi, warna jingga mulai menampakan keindahannya. Ku duduk sendiri dibibir pantai, tiba-tiba sosok yang tak berani kusapa sejak tadi ikut duduk disampingku. Aku menunduk. Ah, sial kenapa mesti dia yang dulu menghampiriku. Dasar laki-laki pengecut, hardikku dalam hati.
“Apa kabar” tanyanya memulai pembicaraan
“Baik” jawabku kaku, datar. Masih menunduk.
Lama percakapan itu terhenti. Dan lagi-lagi aku kalah, tak berani memulai sapa. Rasa gugup yang sedari tadi memuncak kini tinggal menunggu ledakannya.
“Sebentar lagi matahari akan terbenam ya” Katanya lagi
“Iya” masih dingin.
“Kau suka sunset?” tanyanya padaku
Aku terdiam cukup lama.
“Tidak” jawabku pendek, akhirnya meledak juga.
“Kenapa?”
“Sebab dia meninggalkan bumi”
“Tapi bukankah besok dia akan hadir lagi menyinari bumi”
“Betul, tapi dengan cahaya yang berbeda”
“Tapi dia tetaplah matahari yang kemarin kan”
“Tetap saja dia meninggalkan”
Dia menghela nafas panjang.
“yaaa….Kadang bumi merasa bahwa mataharilah yang meninggalkanya. Mataharilah yang merebut terangnya. Padahal tidak, dia selalu ada untuk bumi. Meski malam dia tetap memberikan cahayanya lewat bulan. Bumi saja yang tak sadar, tak merasa kehadirannya. ”Aku diam. Dia diam.
“Arya….” katanya datar. Aku masih diam.
Kini aku berani memandang wajahnya dengan jarak yang dekat. Ya Tuhan, dia benar-benar cantik. Bola mata yang hitam. Bulu mata yang lentik. Tapi mendadak kutemukan butiran air bening perlahan mengenangi sisi matanya yang sayu. Aku tertahan. Tak sanggup lagi bernafas dengan normal. Dia menangis. Menangis untuk alasan yang tak ku tau.
“Tolong” katanya dengan nada yang tertahan. “Nanti, dari hari ini. Jangan lagi menjadi bumi. Jadilah matahari, matahari tak akan pernah terpisah dengan cahayanya sendiri. Jika dia hilang, cahayanya pun hilang. Jika dia hancur, cahayanya pun akan hancur. Tak akan ada yang meninggalkan dan ditinggalkan.. Matahari tak akan pernah meninggalkan cahayanya. Dia selalu mengajaknya kemanapun dia berkunjung. Entah itu kebumi, kelaut, kepantai, kedanau atau bahkan ketempat yang tak pernah mereka kunjungi. Dia selalu ada untuk cahaya dan cahaya akan selalu bersama matahari. Tak peduli ada yang ingin meminangnya bahkan merengutnya sekalipun. Matahari dan cahayanya adalah dua unsur yang menyatu.” Isaknya makin menipis dan jelas sekali suara yang ditahan sekuat tenaga.
“ Minggu depan aku nikah” katanya sambil berdiri sambil mengusap matanya perlahan. Aku kaku, membeku. Ku tatap perlahan wajahnya sekali lagi. Salah dengarkah aku? Bercandakah dia?
“Datang ya” Kini senyum hambar. “Ini permintaan terakhirku”. Ya,aku tak salah dengar. Dia tak bercanda. Aku diam. Hanya diam. Ingin rasanya aku lari kelaut. Untuk meyakinkan bahwa ini hanya mimpi. Tapi, “Terima kasih untuk puisinya. Dan maaf. Aku pastikan, aku tak akan sempat lagi membuatkan puisi untukmu. Sebab imajinasiku sudah pergi” Senyuman yang masih hambar, senyum yang asing. Lalu dia menghilang seiring hilangnya cahaya matahari, seiring hilangnya Cahayaku. Saatnya aku benar-benar melepas cahayaku, memberikan cahayaku.. Mendadak aku rindu Tuhan.
Banjarmasin, 03 Nopember 2011. Jam 03 : 11 Dalam Kamar Mungil.
Friday, April 15, 2016
In Memoriam Sahabat "H.M.Said Fadli"
Saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menulis kebaikan sahabat ini di blog pribadi saya. Sosok dengan kepribadiaan yang penuh kesederhanan, ramah, murah senyum dan selalu terlihat tabah dalam menghadapi masalah. Saya rasa tidak ada teman kami yg menolak deskripsi tentang sahabat ini. Saya sendiri sempat tahunan berkumpul bersama satu kontrakan dengan almarhum, meskipun kita sering buat kesal, kita bikin marah, ujung ujungnya almarhum tetap akan melontarkan senyum.
Hal lain yang saya masih ingat, almarhum juga sosok yg punya kelebihan dengan ingatannya yg kuat. Jadi kadang ketika malas ke kampus untuk melihat nilai mata kuliah, almarhum adalah orang yg rajin menginggat nilai-nilai teman yg lain secara detail (waktu itu handphone kamera belum terlalu populer). Sapaan khas almarhum dengan nada "amuntai-nya" juga yg sering menginggatkan pada sosok almarhum.
Setelah mendengar kabar wafatnya ba'da ashar. Jam 6 sore (kamis,14-april-2016) saya dan beberapa teman memutuskan ke Amuntai, dan sampai kurang lebih jam 12 malam. Saat dekat dengan jenazah almarhum, jujur saya tidak mampu menahan air mata ini. Mengginggat kebaikan almarhum dan kebersamaan dengan almarhum.
Yang kemudian membuat saya menyesal, saat sakit, saya tidak sempat menjenguk almarhum. Tidak sempat meminta maaf dengan almarhum, tidak sempat meminta ridha dengan almarhum. Saya yakin almarhum orang yang berhati baik, teman yg insyallah disayangi yg dibumi dan dilangit. Semoga almarhum dan kita mendapat ampunan dari Allah, almarhum ditempatkan dalam kasih sayang dan ridha-nya. Insyallah almarhum dikebumikan jum'at 15 april 2016 di Amuntai. Selamat jalan sahabat, selamat jalan orang yg berhati baik. Terimakasih sudah banyak mengajarkan kami tentang kesabaran, tentang ketabahan. Semoga kita berkumpul dalam surganya. Amin.
#In memoriam H.M.Said Fadli
Thursday, December 24, 2015
SAYA HADIR, BUKAN MERAYAKAN NATAL
Entah kenapa dalam setiap kesempatan jika orang bertanya tentang keluarga, saya sangat mudah sekali untuk menceritakan bahwa saya lahir dari rahim seorang ibu yang mullaf. Bercerita, bahwa Ibu dan beberapa sepupu dan adik di keluarga beliau juga banyak yang memilih Islam. Berbagi, bahwa nenek dan kakek serta paman dan bibi saya masih teguh memeluk agama mereka, kristen. Paman, bibi dan ibu yang dulu menjadi musisi-musisi gereja. Yah, seperti ada kebanggan tersendiri bagi saya. Bangga bahwa melalui pernikahan ayah dan ibu ini, Tuhan seperti membuat design yang spesial bagi saya. Kebanggan yang tidak banyak di alami teman-teman saya yang mayoritas Islam, karena memang beberapa keturunan nenek moyang dulu mereka sudah Islam sejak lama.
Bisa dibayangkan memiliki keluarga yang berbeda agama tentu bagi saya ketika masih kecil bukan hal yang mudah. Sempat dulu terpikir oleh willy kecil bahwa dia adalah sosok yang memiliki badan sebelah beragama Islam dan sebelah beragama Kristen. Bahkan, selama 3 tahun sejak saya masuk dan belajar di sebuah pesantren, saya tidak pernah lagi mengunjungi kakek nenek saya yang non-muslim. Kadang seperti jijik makan mengunakan alat makan mereka, yang siapa tau pernah digunakan untuk makanan yang diharamkan oleh agama saya. Kadang merasa risih harus sholat di rumah yang banyak terpampang gambar yesus dan simbol-simbol kristen lainnya.
Namun, dengan berjalannya waktu. Dengan banyaknya dinamika hidup yang saya lewati. Dengan banyak bertanya dan belajar, saya akhirnya berada pada kesimpulan yang saya kira ini jawaban yang saya cari dan saya butuhkan. Yah, ini bukan proses yang mudah bagi saya. Saya sangat yakin, proses yang saya jalani ini tentu tidak lepas dari petunjuk Allah. Saya belajar bagaimana saya harus bertoleransi, belajar bagaimana perbedaan agama bukan justru menjadi penghalang bagi terjalinnya silaturrahmi antar keluarga.
Sekarang saya hadir dan berkumpul saat keluarga saya, pihak ibu yang mayoritas non-muslim, merayakan natalnya. Bercengkara dan saling bertukar kisah dengan meraka, karena momentum berkumpulnya semua kelurga kalau tidak kawinan ya natal. Hadir bukan berarti saya datang dan kemudian mengucapkan Selamat Natal pada mereka. Karena bagi saya mengucapkan natal sama dengan meng-imani bahwa Yesus adalah Tuhan, dan keluarga saya mafhum soal ini. Hadir dan berkumpul bukan berarti bentuk saya setuju dengan keyakinan mereka, bukan menunjukkan sikap bahwa saya mengamini perayaan mereka. Momentum ini saya anggap sebagai bentuk sosial bukan bentuk ritual, bentuk silaturrahmi antara anak dan orangtua, antara cucu dan nenek, antara cucu dan kakek, antara keponakan dan paman yang memang harus terjaga.
Begitu juga sebaliknya, ketika kami merayakan Hari Raya Iedul Fitri, jika ada kesempatan keluarga non-muslim biasayan juga berkunjung dan berkumpul dengan kami yang Islam. Ya, saya kira ini keharmonisan hubungan yang sudah seharusnya terus dijaga. Sekali lagi, saya betul-betul bangga. Bangga, bahwa dengan kondisi ini saya banyak belajar tentang toleransi. Bangga, karena tidak semua orang bisa mudah melakukan dan menerima ini. Bangga, bahwa saya lahir sebagai Muslim dan belajar Islam yang cinta dan memerintahkan umatnya untuk terus menjaga perdamaian. Namun juga tetap selalu menjaga akidahnya. Wallahu A’lam.
Thursday, April 30, 2015
KEMBALI MENJADI HMI
Himpunan Mahasiswa
Islam atau HMI merupakan sebuah organisasi yang bisa dibilang cukup popular di
kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa aktivis. HMI memiliki sejarah panjang
sejak awal-awal kemerdekaan Indonesia. 58 Tahun yang lalu, sejak masuk secara
resmi pada tahun 1957 di Kalimantan melalui Banjarmasin, HMI sudah banyak
menelurkan kader-kader yang berkualitas
di Kalimantan. Banyak kader-kader HMI yang menempati posisi-posisi penting
seperti di bidang politik, akademik, entrepreneurship dan di bidang lainnya. Sebagai
generasi yang lahir belakangan, sekarang nampaknya kader HMI seperti sedang
mengidap penyakit amnesia sejarah. Penyakit yang bisa melemahkan sendi-sendi
berorganisasi. Kita hampir tidak belajar banyak terhadap kesuksesan dan
keberhasilan generasi sebelum kita. Justru meskipun bicara sejarah, cendrung kita
hanya menggingat dan bernostalgia tanpa mengambil pelajaran dari masa lalu.
Namun yang paling
penting, meski mengingat sejarah merupakan suatu upaya yang harus dilakukan.
Kita juga harus cerdas memilih dan memilah yang mana yang harus dijadikan
“kiblat” organisasi dan mana yang tidak untuk diteladani. Meskipun begitu, nostalgia
sejarah harusnya tidak menjadikan kita terus terbuai sehingga membuat kita lupa
dengan fakta masa kini. Salah satunya adalah dengan cara terus melakukan
evaluasi dan introspeksi terhadap fenemona-fenomena elementer yang terjadi di
pelataran HMI sekarang.
Bolehlah kita
bertanya, bagaimana kondisi HMI (kader) sekarang? Bagaimana gerakan HMI di
zaman yang semakin kompleks ini? Masih kuatkah posisi HMI di kalangan mahasiswa
dan masyarakat? Pertanyaan sederhana ini nampaknya juga berlaku untuk
dilontarkan kepada kader-kader HMI di Kalimantan Selatan. Anggaplah itu semacam
pertanyaan sederhana orang yang tidak mengetahui betul sejauh mana keberadaan
HMI saat ini. Yah, paling tidak ini masih jauh lebih ringan dibanding ucapan
maestro HMI, Cak Nur, yang menyentak dengan menyebutkan bahwa HMI sudah
selayaknya membubarkan diri karena dianggap tugas sejarahnya sudah
selesai.
Meminjam teori kritisisme
bahwa dalam tradisi ilmu pengetahuan, ia selalu memiliki sifat yang berkembang.
Secara sederhana, kritisisme adalah tindakan mengkritik yang lama dan membangun
yang baru. Dalam konteks organisasi, budaya organisasi yang telah lama mengakar,
yang dianggap sudah tidak mampu menjalankan peranan dan fungsinya secara total
maka ia patut digeser dan digantikan dengan budaya dan perspektif baru yang
lebih mampu dan memiliki hasil yang jauh lebih unggul dan lebih utuh.
Diantara ciri yang
melekat pada kaum intelektual adalah bersedia di tegur dan siap menghadapi
kritik. Meminjam apa yang pernah di sampaikan salah satu senior HMI, Anas
Urbaningrum, bahwa kritik itu dapat dipahami dalam dua aspek. Pertama, kritik
dianggap sebagai bentuk harapan atau paling tidak sebagai care (kepedulian) dari sang pengkritik. Bisa juga yang kedua
sebagai social capital yang
diharapkan mampu menjadi peransang perbaikan internal (internal correction).
Kondisi Kader HMI Kalimantan
Selatan
Setiap orang tentu
memiliki penilaian berbeda terhadap sesuatu. Namun jika penilaian itu sudah
menjadi penilain kolektif dan mayoritas, maka penilaian tersebut sudah harus
patut diperhitungkan dan dijadikan bahan introspeksi. Sekarang ini, meski
mungkin saya tidak bisa menjelaskan secara statistik atau bahkan tidak didasari
penelitian ilmiah. Namun jika kita mau sedikit saja lebih jujur melakukan perbandingkan
antara HMI dulu dan HMI sekarang, tentu kita akan mengakui bahwa HMI hari ini,
khususnya HMI Kalimantan Selatan, sudah banyak mengalami kemunduran. Baik itu
dalam konteks kajian keilmuan, kajian keislaman, budaya diskusi, budaya
membaca, budaya menulis apalagi terlibat dalam membangun bangsa dan daerah ini.
Bagaimana mungkin HMI
bercita-cita menjadikan daerah ini berkembang dan maju. Sedangkan kadernya
malas membaca, malas diskusi dan malas belajar. Bukankah HMI adalah organisasi mahasiswa?
Tentu sebagai oraganisasi yang memiliki basis domain di kalangan mahasiswa,
harusnya intelektualitas mahasiswa itu juga melekat di dalam tubuh kader dan organisasi
tersebut. Mestinya iklim ilmiah dan forum diskusi lebih banyak porsinya
ketimbang forum-forum nir-intelektual. Jika dulu orang tertarik masuk dan
menjadi kader HMI karena HMI intens melakukan kajian-kajian yang bersifat
ilmiah. Lalu sekarang apa daya tarik dan daya tawar (bargaining position) yang dimiliki oleh HMI?
Krisis internal di
dalam tubuh HMI ini berakibat pada turunnya minat kepercayaan mahasiswa untuk
masuk dan menjadi kader HMI. Animo mahasiswa terhadap HMI saat ini terlihat
sangat kurang. Saya khawatir HMI hanya akan menjadi alat oknum yang ingin
mendompleng nama HMI lalu menjadikan HMI sebagai kendaraan politik saja, yang
belakangan saya lihat akar-akar ini sudah mulai muncul. Sehingga jangan heran
jika suatu saat menemukaan kader yang memiliki motivasi masuk HMI karena ingin
menjadi ketua BEM atau ketua Senat, misalnya. Bercita-cita menjadi ketua
BEM/Senat itu sama sekali tidak salah. Kader sah menjadi apa saja yang dia
inginkan, dan HMI saat itu memang harus hadir sebagai motivator dan
mengakomodasi keinginan kader. Namun itu saja tidak cukup, itu bukanlah tujuan
akhir ber-HMI. Sebab tujuan HMI sebenarnya adalah apa yang tertuang di dalam
konstitusi (Visi dan Misi) HMI itu sendiri. Terbinanya
Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam dan Bertanggungjawab
atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang di Ridhai Oleh Allah SWT.
Siapa yang
bertanggungjawab atas fenomena organisasi yang terjadi hari ini? Kini bukanlah
saatnya mencari siapa yang salah dan siapa yang bertanggungjawab. Kader-kader (muda
ataupun biasa) bahkan Alumni (KAHMI) harus mengambil bagian dalam perbaikan dan
pembenahan organisasi yang kita cintai ini.
Student Need, Student Interest
Student
Need
dan Student Interest adalah diskusi
panjang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keperluan mendasar mahasiswa. Harusnya
poin inilah yang menjadi fokus perhatian HMI. Kader-kader HMI sudah saatnya
mengambil alih posisi strategis dan vital di setiap lini dan ruang kegiatan
kemahasiswaan. Tidak hanya diartikan dalam konteks posisi politis, namun yang
jauh lebih penting adalah di dalam konteks akademis dan ke-Islaman. Boleh
ditanya, secara sederhana, seberapa kuat kiprah aktivis HMI di dalam
diskusi-diskusi ruang kuliah saat ini? Sudahkah mereka menjadi sosok role model yang memberikan stimulus
positif terhadap mahasiswa lain? Sudahkah mereka menjadi mercusuar gerakan
mahasiswa di kampus-kampus dan daerah? Sehingga jika demikian hasil yang sudah
di raih maka HMI akan memiliki brand image atau identity yang dianggap mampu memberikan value added (nilai tambah) kepada mahasiswa lain.
Bukankah organisasi
merupakan alat yang terlahir dari refleksi kebutuhan manusia-manusia yang
memiliki keinginan namun tidak mampu merealisasikan secara sendiri-sendiri.
Oleh sebab itulah kenapa student need
dan student interest harus menjadi
perhatian penting HMI. Maka jika ada kader yang menginginkan atau memiliki
ekspektasi tinggi terhadap organisasi ini, itu merupakan hal yang sangat wajar.
Disana lah akan terlihat bahwa HMI memang menjadi salah satu wadah yang dibutuhkan oleh mahasiswa, dan
tugas HMI adalah membantu merealisasikannya.
Re-interpretasi Visi
dan Misi HMI
Visi dan Misi HMI
yang tertuang dengan jelas tersebut merupakan janji-janji kader yang terus dilafazkan
dalam setiap kesempatan kegiatan formal maupun nonformal HMI. Janji-janji
tersebut tentu menjadi satu ikrar yang sakral dan sudah seharusnya mampu
diwujudkan dalam segala bentuk tingkah-laku kader-kader HMI. Sebagai organisasi
kemahasiswaan yang memiliki nilai (Value)
yang besar dan mulia, menawarkan pengetahuan (Knowledge) dan memberikan kemampuan/ketrampilan (Skills). Tentu semua itu akan menjadi
nilai tambah (value added) bagi
organisasi ini.
Namun, pada
kenyataannya kualitas tersebut masih menjadi semacam mitos di tubuh HMI Kalimantan Selatan. Semakin hari eksistensi dan
peranan HMI semakin memudar, meski tidak bisa juga disebut hilang. Oleh karena
itu perlu untuk melakukan rekonstruksi atau reinterpretasi terhadap nilai-nilai
yang terkandung di dalam visi dan misi tersebut. Setidaknya ada tiga aspek yang
bisa saya lihat dalam bahasan ini.
Pertama, Knowledge Production. Ini merupakan
sebuah paradigma penting dalam upaya melakukan re-interpretasi terhadap Visi
dan Misi HMI . Sebab, tugas “Insan Akademis dan Pencipta” yang dimaksud dalam
visi HMI adalah mampu memproduksi keilmuan-keilmuan baru atau memperluas
cakupan-cakupan serta kajian-kajian keilmuan yang sudah terbentuk. Pengetahuan
atau ilmu bukan sebuah konstruksi yang permanen, dia bersifat dinamis. Sehingga
ia perlu diperbaharui sesuai dengan kebutuhan zaman. Diantara yang dapat
dilakukan adalah dengan menghidupkan dan melakukan semangat penelitian. Dengan
melakukan penelitian maka HMI akan mampu memproduksi pengetahuan/ilmu, yang
pada akhirnya memberikan result
sebagai bentuk solusi dari banyaknya permasalahan di masyarakat.
Kedua,
Knowledge Mobilization. Komponen ini
merupakan lanjutan dari proses memproduksi pengetahuan. Proses ini sebagai
bentuk upaya HMI dalam menyebarkan pengetahuan/keilmuan (share knowledge) yang telah dihasilkan, bisa berbentuk pendidikan,
pelatihan atau diskusi. Ini juga merupakan bentuk dari interpretasi visi “Insan
Akademis”. Sehingga pengetahuan atau hasil penelitain tidak hanya berakhir dalam
bentuk buku-buku yang menghiasi rak-rak perpustakaan. Namun juga disampaikan
dan diajarkan demi terwujudnya pemerataan pengetahuan dikalangan kader HMI dan
juga masyarakat pada umumnya.
Ketiga,
Community Mobilization. Menciptakan,
memproduksi, memperluas pengetahuan secara teoritis dan melakukan
kajian-kajiannya dalam forum-forum diskusi tidaklah cukup. “Insan Pengabdi”
mestinya mengharuskan kader untuk lebih impelementatif terhadap keilmuan yang
sudah didapat. Keharusan untuk memobilisasi kebutuhan masyarakat adalah kewajiban
yang tak dapat dihindari oleh kader HMI. Sebab dengan melakukan pengabdian,
kader baru bisa dan layak di sebut sebagai kader yang betul-betul unggul dan
berkualitas seperti yang dijanjikan oleh Himpunan Mahasiswa Islam.
HMI tidak
menginginkan kadernya hanya mampu berwacana namun lemah dalam aksi lapangan.
“HMI untuk Rakyat” seperti yang terus disampaikan oleh Ketum PB HMI dalam
setiap kesempatan, menurut saya, sudah cukup menjadi kabar gembira buat kita. Tidak
berlebihan jika Jenderal Soedirman pernah mengemukakan bahwa HMI adalah
“Harapan Masyarakat Indonesia”. Sebab peran dan fungsi kader HMI sebagai
generasi akademis yang Islami memang menjadi harapan Bangsa dan Masyarakat
Indonesia untuk melakukan perbaikan terhadap keadaan bangsa Indonesia. Jika ini
mampu kita hidupkan, maka HMI akan menjadi kiblat gerakan mahasiswa khususnya
di Kalimantan Selatan.
Mungkin
apa yang saya lihat ini hanyalah segelintir masalah internal di dalam tubuh
HMI. Tentu jika kita mau lebih jujur lagi melihat organisasi yang sama-sama
kita cintai ini, akan banyak sekali potensi-potensi virus yang harus segera
kita basmi dan tuntaskan. Jika kita mencintai organisasi ini, tentu sudah
selayaknya lah kita rawat baik-baik. Bila ada goresan yang membuatnya tidak
seksi lagi, tidak ada cara lain selain kita dandani dan make over agar kembali terlihat cantik. Mari kita kembali ber-HMI,
dengan sebenar-benarnya HMI. Wallahu A’lam.
Banjarmasin,
28 April 2015
Tuesday, March 17, 2015
Sejarah Singkat HMI di Kalimantan
Kapan HMI datang ke Kalimantan? Siapa saja pendiri dan tokoh-tokoh yang terlibat dan berjasa di balik berdirinya HMI di Kalimantan.Silahkan download di sini
Mohon kritik dan saran konstruktif-nya.
Friday, April 25, 2014
Pengaruh Pendidikan Terhadap Religious Doubt Pada Remaja (Mini Riset)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pendidikan merupakan sebuah elemen
yang begitu sangat penting dalam membantu manusia untuk menemukan eksistensi
kemanusiaannya, baik itu pendidikan formal maupun non-formal. Pendidikan
sendiri merupakan sebuah upaya atau usaha sadar untuk mengembangkan potensi
manusia sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Ilmu dan tekhnologi
sekarang juga sangat berkembang pesat, termasuk dalam memberikan kontribusinya
terhadap proses pendidikan. Bahkan ilmu pernah menjadi sentral bagi beberapa
pemikir-pemikir terdahulu. Seperti halnya Sigmud Freud yang menjadikan
ilmu sebagai agamanya dan menjadi atheis.
Namun semakin hari orang semakin merasa
bahwa ilmu saja tidak membuat mereka puas. Menurut Kontuwijoyo (2006:
35) tekhnologi, ilmu, dan menejemen menang membawa kemajuan, tetapi gagal
membawa kebahagiaan. Inilah juga yang menjadi landasan Subandi yang mengatakan bahwa
meskipun ilmu dan tekhnologi telah berkembang begitu pesatnya. Tetapi, banyak
fenomena orang yang kembali kepada agama. Dimana agama menurutnya sebuah proses
pengikatan diri dan upaya penjalinan hubungan antara manusia denagn kekuatan
lain, yang melahirkan kehidupan yang lebih utuh, lengkap dan menyeluruh
(Subandi, 2013: 39-41).
Dalam psikologi agama hal tersebut
dinamakan rasa beragama. Menurut Susilaningsih (makalah disampaikan pada
perkuliahan psikologi agama 2013) rasa beragama salah satunya bisa diartikan
sebagai sesuatu perasaan bahwa ada sesuatu yang maha besar yang berkuasa atas
diri dan alam semesta. Terkait dengan dengan rasa keberagamaan, pendidikan
merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi rasa keberagamaan tersebut.
Menurut Jalaluddin (2012: 291) bahwa meskipun para ahli masih berselisih paham
terhadap asal-usul jiwa keagamaan, tetapi mereka sepakat bahwa pendidikan
memiliki posisi dan peranan penting dalam menanamkan sikap dan rasa
keberagamaan seseorang.
Pendidikan memang memiliki cakupan
yang sangat luas, bisa merupakan pendidikan keluarga, lembaga, masyarakat dan
sebagainya. Namun, dalam penelitian ini peneliti ingin fokus pada pendidikan
yang bersifat formal keilmuaan atau bisa juga dikatakan jenjang formal
pendidikan. Sehingga pertanyaan mendasar dalam penelitian ini adalah bahwa jika
pada penjelasan tersebut diatas pendidikan dinilai memiliki peranan strategis
untuk menenamkan rasa keberagamaan. Maka, dalam penelitian ini mencoba
menemukan apakah pendidikan berpengaruh juga terhadap lahirnya keraguan
beragama pada seseorang terhadap agama yang diimani dan dipercayainya selama
ini. Keraguan ini dalam psikologi agama lebih dikenal dengan sebutan religious
doubt.
B. Rumusan
Masalah
Penelitian
ini mengambil judul “Pengaruh Pendidikan Terhadap Religious Doubt Pada Remaja”.
Mengacu pada latar belakang masalah diatas, untuk mempermudah maka peneliti
membatasi masalah dan menyusun rumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya
adalah: Apakah pendidikan berpengaruh terhadap religious doubt pada remaja?
C. Tujuan dan
Manfaat Penelitian
Adapun
tujuan penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas akhir Mata Kuliah
Psikologi Agama dan untuk memperoleh gambaran apakah pendidikan
berpengaruh terhadap religious doubt pada remaja. Sedangkan manfaat penelitian
ini selain untuk menambah pengetahuan kita tentang psikologi agama melalui
penelitian, juga diharapkan dengan penelitian ini kita mampu memperhatikan
faktor-faktor yang bisa berakibat terhadap timbul religious doubt pada
diri kita dan keluarga.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian
Religious Doubt
Religious doubt atau keraguan beragama dapat
diartikan sebagai sebuah sikap atau tingkah laku seseorang yang meragukan
kebenaran agama yang dianutnya. Mengutip dari sebuah situs http://www.religioustolerance.org disana dijelaskan bahwa religious doubt dapat diartikan “a
feeling of uncertainty toward, and a questioning of, religious teachings and
beliefs”, atau sebuah perasaan yang tidak menentu dan selalu mempertayakan
ajaran agama dan keyakinannya.
Menurut Susinalingsih bahwa religious
doubt itu muncul pada masa remaja, sebab rasa agama masa kanak-kanak baru
terbentuk melalui proses tanpa tanya. Remaja, secara fisik sudah berpenampilan
dewasa, namun secara psikologis belum.
Ketidakseimbangan ini menjadikan remaja menempatkan remaja dalam suasana
kehidupan batin terombang-ambing (strum and drang). Dalam upaya mengatasi
hal tersebut para remaja cendrung untuk bergabung dengan teman sebayanya.
B.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Religious Doubt
Menurut Starbuck dari beberapa hasil
penelitiannya (Jalaluddin, 2012: 78-79) ia menjelaskan bahwa penyebab timbulnya
konflik dan keraguan itu pada remaja dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara
lain:
1. Kepribadian,
yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin
a. Bagi seorang
yang memiliki kepribadian introvert, maka kegagalan dalam mendapatkan
pertolongan Tuhan akan menyebabkan salah tafsir akan sifat-sifat Tuhan Yang
Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
b. Perbedaan
jenis kelamin dan kematangan merupakan faktor yang menentukan dalam keraguan
agama. Wanita yang lebih cepat matang dalam perkembangannya lebih cepat
menunjukan keraguan daripada pria. Tetapi sebaliknya dalam kualitas dan kuantitas
keraguan remaja putri lebih kecil jumlahnya. Disamping itu keraguan wanita
lebih bersifat alami sedangkan pria bersifat intelek.
2. Kesalahan
organisasi keagamaan dan pemuka agama
Pertentang-pertentangan
yang terjadi didalam organisasi keagamaan dan tindak-tanduk pemuka agama yang
jauh menyimpang dari nilai-nilai agama akan menimbulkan keraguan pada remaja.
3. Pernyataan
kebutuhan manusia
Manusia
memiliki sifat conservative (senang dengan yang sudah ada) dan dorongan
curiosity (dorongan ingin tahu). Berdasarkan faktor bawaan ini maka keraguan
memang harus ada pada diri manusia, karena hal itu merupakan pernyataan dari
kebutuhan manusia normal. Ia terdorong untuk mempelajari ajaran agama dan kalau
ada perbedaan-perbedaan yang kurang sejalan dengan apa yang telah dimilikinya
akan timbul kerguan.
4. Kebiasaan
Seseorang yang
terbiasa dengan tradisi keagamaan yang dianutnya akan ragu menerima kebenaran
ajaran yang baru diterima atau dilihatnya. Misalnya seorang remaja protestan
akan ragu dengan ajaran-ajaran yang ada di dalam Islam. Namun, keraguan ini ada
yang menimbulkan rasa penasaran dan kemudian mereka berusaha mencari kebenaran
dengan memperbandingkan kedua ajaran tersebut. Maka tidak tertutup kemungkinan
mereka pindah agama.
5. Pendidikan
Dasar pengetahuan
yang dimiliki seseorang sesuai dengan tingkat pendidikan yang ia miliki akan
membawa pengaruh sikap terhadap ajaran agamanya. Terutama yang mengandung
ajaran yang bersifat dogmatis. Apalagi adanya kemampuan mereka menafsirkan
ajaran agamanya.
6. Percampuran
agama dan mistik
Para remaja
merasa ragu untuk menentukan antara agama dengan mistik. Sejalan dengan
perkembangn masyarakat kadang secara tak disadari tindak keagamaan yang mereka
lakukan ditopang oleh praktek kebatinan dan mistik. Penyatuan unsur ini
merupakan suatu dilema yang kabur bagi para remaja.
Selanjutnya, menurut Jalaluddin
(2013) secara individu sering pula terjadi keraguan yang disebabkan beberapa
hal antara lain mengenai : (1) Kepercayaan, (2) Tempat suci, (3) Alat
perlengkapan keagaamaan (4) Fungsi dan tugas staf dalam lembaga keagamaan. (5)
Pemuka agama (6) Perbedaab aliran dalam keagamaan, sekte (dalam agama Kristen)
atau mazhab (Islam).
Menurut Susilaningsih, Diantar
penyebab religious doubt adalah : (1) Early religious training, (2) Independent
thinking, (3) Higher education, (4) Friend/family with different religious
belief, (5) Dogmatic teaching, (6), Immorality among religious leaders, (7)
Individual differences, dan (8) Conflicting between science and religion.
C.
Bentuk dan Ekspresi Religious Doubt
Diantara ekspresi yang dilahirkan
dari religious doubt menurut Susilaningish adalah : (1) Seseorang yang memiliki
keraguan dalam beragama itu terlihat skeptik terhadap hal-hal yang berbentuk
keagamaan, (2) Seseorang akan meninggalkan segala macam tugas-tugas kewajiban
yang diatur dalam agama, (3) Seseorang yang memiliki keraguan beragama juga
akan melakukan konfrontasi atau selalu menghadap-hadapkan,
membanding-bandingkan, mempertentangkan anatara ilmu pengetahuan dan ilmu
agama.
Adapun menurut Krause and Wulff
(http://www.religioustolerance.org), mengatakan bahwa keraguan itu
mengakibatkan beberapa hal diantaranya :
1.
Can cause devout believers to
disengage from religious practices such as prayer, from which they may have
previously derived benefits.
2.
Can cause conflict with others in
the congregation who have little doubt.
3.
Can cause feelings of guilt and
shame. This may lead to a lessening of self esteem.
4.
Can lead to cognitive dissonance as
believers try to harmonize conflicting and irresolvable points of view. They
quote as one example theodicy: the paradox of a good God allowing massive
amounts of evil in the word.
Keragu-raguan
yang demikian akan menjurus ke arah munculnya konflik keagamaan dalam diri para
remaja, sehingga mereka dihadapkan kepada pemilihan antara mana yang baik dan
yang buruk, serta antara yang benar dan salah. Konflik keagamaan ini ada
beberapa macam, diantaranya : (1) Konflik keagamaan yang terjadi antara percaya
dan ragu. (2) Konflik keagamaan yang terjadi antara pemilihan satu di antara
dua macam agama atau ide keagamaan serta lembaga keagamaan. (3) Konflik
keagamaan yang terjadi oleh pemilihan antara ketaatan beragama atau sekularisme.
(4) Konflik keagamaan yang terjadi antara melepaskan kebiasaan masa lalau
dengan kehidupan keagamaan yang didasarkan atas petunjuk Ilahi. (Jalauddin,
2012 :80).
BAB III
METODE
PENELITIAN
A. Pendekatan
Penelitian
Pada
penelitian ini kami menggunakan pendekatan kualitatif. Yaitu pendekatan yang
berusaha menangkap kenyataan sosial secara keseluruhan, utuh, dan tuntas
sebagai suatu kesatuan kenyataan. Menurut pendekatan ini, objek penelitian
dilihat sebagai kenyataan hidup yang dinamis. Sehingga dengan penelitian ini
data yang diperoleh tidak berupa angka-angka, tetapi lebih banyak deskripsi,
ungkapan, atau makna-makna tertentu yang ingin disampaikan.
Dalam
pendekatan ini kami menggunakan penelitian deskriptif. Deskriptif dimaksud
untuk mendeskripsikan suatu situasi. Pendekatan deskriptif juga berarti untuk
menjelaskan fenomena atau karakteristik individual, situasi, atau kelompok
sosial secara akurat. Data yang muncul dalam penelitian kualitatif ini
berbentuk kata-kata, dan bukan rangkaian angka.
B. Subjek
Penelitian
Subjek
penelitian adalah 2 orang mahasiswa yang sedang menyelesaikan studinya di
universitas di Yogyakarta.
C. Metode
Pengumpulan Data
Data yang
kami gunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Yaitu data yang didapat
langsung dari responden atau subjek penelitian. Dalam penelitian ini data
primer didapat dengan cara wawancara atau interview. Interview atau wawancara
digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan
studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga
apabila peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam
dan jumlah respondennya sedikit/kecil.
D. Metode
Analisis Data
Analisis
data yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu dengan cara menelaah
jawaban-jawaban yang dikumpulkan yang didapat dari subjek penelitian dan
kemudian dilakukan interpretasi, uraian, menjabarkan dan menyusun serta dideskripsikan
dengan penjelesan-penjelasan.
BAB IV
PELAKSANAAN PENELITIAN, HASIL
PENELITIAN, DAN PEMBAHASAN
A.
Pelaksanaan Penelitian
Langkah
awal dari penelitian ini adalah mengumpulkan dan mempelajari sejumlah
literature baik dari buku, makalah jurnal maupun artikel yang berkaitan dengan
topik religious doubt remaja. Sebelum peneliti melakukan penelitian maka
terlebih dahulu mempersiapkan instrumen yang digunakan yaitu, alat perekam,
pedoman wawancara, dan instrumen lainnya untk menunjang kelancaran jalannya
penelitian. Kemudian peneliti mencari subjek yang memenuhi kriteria.
B.
Hasil Penelitian
Dari
pengumpulan data yang menggunakan metode wawancara peneliti memperoleh sebuah
hasil yang menjelaskan bahwa pendidikan memang
merupakan suatu faktor yang mempengaruhi religious doubt pada
remaja.
C.
Pembahasan
Pendidikan
merupakan suatu upaya sadar untuk menanamkan sifat dan mengembangkan potensi
yang telah dimiliki manusia sejak lahir. Selain itu pendidikan juga mampu
menjadikan seseorang lebih kritis dalam memandang realitas yang ada
disekitarnya. Namun, dalam pandangan psikologi agama dengan kualitas ilmu
pengetahuan yang didapatnya melalui pendidikan, selain bisa menebalkan keimanan
ia juga mampu menimbulkan reaksi keraguan dalam beragama.
Seperti
dalam penelitian ini didapatkan data bahwa pendidikan sangat menempati posisi
vital dalam melahirkan keraguan beragama seseorang. Saipul Hadi (23) seorang
penganut agama Islam, mengatakan bahwa peranan agama dalam hidupnya begitu
sangat fundamental dalam memahami dan menghayati hal-hal yang diluar logika,
yang terjangkau oleh ilmu pengetahuan. Adapun menurut Muhammad Zulkarnaen (24),
juga penganut agama Islam, bahwa peranan agama adalah memberikan arahan dan
batasan berupa tindakan, baik itu kebaikan maupun kebaikan di dalam kehidupan.
Muhammad
Zulkarnaen mengakui pernah ragu terhadap kebenaran agama yang dianut. Bahkan
Saipul Hadi mengaku sering mengalami keraguan tersebut. Kedua subjek penelitian
sama-sama mengakui bahwa pendidikan merupakan salah-satu aspek yang
mempengaruhi keraguan beragama mereka. Pendidikan dalam konteks ilmu
pengetahuan yang mereka anggap mempengaruhi diantaranya adalah filsafat,
Islamic studies, sejarah, ushuluddin, ilmu yang bersifat multikultural, plural
dan ilmu-ilmu normatif agama.
Ilmu
pengetahuan tersebut diatas menurut pengakuan Muhammad Zulkarnaen secara
perlahan mengajarkan untuk melepas segala bentuk perangkat-perangkat agama
dengan mengiring agar mereka kembali berpikir untuk menjadi manusia yang
beranjak dari titik nol. Dimana kemudian selanjutnya pada penerapannya ilmu
pengetahuan tersebut menggiring pemikiran kritis untuk mencari agama
berdasarkan keinginan individu tanpa ada intervensi dari luar atau orang lain. Persis
dengan Muhammad Zulkarnaen menurut pengakuan Saipul Hadi, ilmu pengetahuan itu
mempengaruhinya melalui cara berpikir kritis, aplikatif serta
penanaman-penanaman dogma-dogma keilmuan. Melalui cara-cara berpikir yang
netral dan juga tanpa ada intervensi dari latar belakang dan pengaruh outsider
dan insider.
Maka
dengan begitu dapat disimpulkan bahwa memang pendidikan atau ilmu pengetahuan
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap kemunculan keraguan
beragama dalam diri seseorang. Pendidikan merupakan faktor pendukung dalam
mempengaruhi sikap terhadap ajaran agamanya. Remaja yang berpendidikan dan terpelajar
menjadi lebih kritis dalam melihat agama yang dianutnya. Lebih-lebih sebagaimana
menurut Jalaluddin terhadap ajaran-ajaran agama mereka yang bersifat dogmatis,
apalagi jika ia memliki kemampuan dalam menafsirkan ajaran agama dengan
cara-cara yang bersifat rasional.
Oleh
karena itu, pendidikan atau ilmu pengetahauan yang didapat baik itu secara
langsung maupun tidak langsung hendaknya tetap harus kita saring secara bijak
dan baik. Ilmu pengetahuan kini sudah begitu pesat berkembang dan pergerakan
pengetahuan yang begitu sangat dinamis sulit untuk dikontrol. Selain
berhati-hati dalam menerima input pengetahuan dari luar kita juga terus berdoa
agar terhindari dari segala ilmu pengetahuan yang menyesatkan kita dari Allah
SWT.
DAFTAR
PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: PT. Rineka Cipta
______________, Metode Penelitian,
Yogyalarta: Pustaka Pelajar, 2013.
Jalaluddin, Psikologi Agama,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Nashori, Fuad, Agenda Psikologi
Islami, Yogyakarta: Pustaka Peajar, 2010.
Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi
Agama Sebuah Pengantar, Bandung: Mizan, 2004.
Sugiyono, Metode Penelitian
Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010.
Sugiyono, Metode Penelitian
Kombinasi (Mixed Methods), Bandung: Alfabeta, 2013.
Subandi, Psikologi Agama dan
Kesehatan Mental, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013
Suryabrata, Sumadi, Psikologi
Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.
Umiarso & Zamroni, Pendidikan
Pembebesan Dalam Prespektif Barat Dan Timur, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2011.
Powered by Blogger.