Thursday, December 5, 2013

DILEMA PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA

DILEMA PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
Upaya Mengkaji Integrasi Dikotomi Pendidikan Islam Dan Umum Di Indonesia
Melalui Pendekatan Historis

Oleh : Willy Ramadan
A.     PENDAHULUAN
       Secara sederhana, pendidikan adalah sebuah proses humanisasi, yang berarti memanusiakan manusia. Pendidikan bertujuan untuk menjadikan manusia lebih baik dalam menjalani kehidupan. Suparlan menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan sistem proses perubahan menuju pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri.[1] Sehingga kemudian dengan proses tersebut diharapkan mampu menjalani tatanan kehidupan bermasyarakat dengan baik. Baik itu dalam tatanan kehidupan beragama, ekonomi, sosial, politik dan lainnya.
       Semua tentu sepakat dan tak ada yang menolak akan urgensi serta vitalitas posisi pendidikan dan peranannya dalam memperbaiki kehidupan manusia. Baik itu pendidikan formal maupun informal. Begitu juga halnya dengan pemerintah Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sejak kemerdekaan Indonesia, para pejuang kemerdekaan menginginkan atau mencita-citakan agar kemerdekaan mampu “mencerdaskan” masyarakat bangsa ini agar menjadi bangsa yang besar dan terdidik.          Terlepas kontroversi yang berkembang, pergantian kurikulum yang terus berkembang dan bergonta ganti sejak tahun 1947, kita patut apresiatif terhadap upaya pemerintah untuk menemukan model pendidikan yang tepat untuk bangsa ini.  I’tikad mulia ini semakin jelas terlihat dalam banyak-nya Undang-Undang yang begitu menempatkan posisi urgensitas pendidikan bangsa ini.
       Misalnya dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
       Namun sayangnya pada kenyataannya konsepsi pemerintah itu belum mencapai nilai maksimal seperti yang dicita-citakan. Menurut hasil survey UNDP (2002) misalnya, bahwa kualitas SDM Indonesia ternyata hanya menduduki urutan 110 dari 179 negara di dunia , posisi Indonesia hanya satu tingkat diatas Vietnam, dan jauh tertinggal di bawah Philipina, Thailand, Malasyia dan Singapura. Bila dibandingkan India, Indonesia sangat jauh tertinggal. Fakta lain, berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun 2001 disebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).
       Para pakar pendidikan Indonesia menilai, hal ini terjadi salah satunya adalah disebab karena adanya dikotomi pendidikan agama dan umum yang sudah berlangsung lama. Mereka menilai sistem pendidikan di Indonesia terlihat terlalu mengutamakan ilmu pengetahuan umum dan melupakan aspek ilmu agama. Untuk menelaah itu semua, penulis mencoba melihat ini semua dengan metodologi pendekatan sejarah/Historis. Kenapa harus sejarah? Menurut Suparlan :
       ……berdasarkan sejarah, manusia selalu mengubah dan mengembangkan sistem pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman. Sejarah mengidekan masa mendatang yang lebih baik dan maju. Sementara itu, pendidikan menindaklanjuti dengan mengubah dan mengembangkan sistem pembelajaran untuk mendapatkan keahlian dan ketarampilan yang relevan dengan kehidupan yang diidekan sejarah itu.
       Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan sejarah, pendidikan adalah suatu sistem bimbingan pemanusiaan untuk masa mendatang. Artinya, pendidikan dapat dikatakan sebagai sistem peristiwa ‘penyejarahan’ manusia. Pendidikan membuat manusia bisa menyatu dengan sejarah, mengubah dan mengembangkan dirinya secara terus menerus. Sehingga menjadi manusia yang semakin bernilai kemanusiaan. Dengan sejarahnya, manusia memperbaiki pendidikannya.[2]
       Dengan melihat sejarah dan masa lalu, diharapkan kita bisa belajar dan mengkaji lebih dalam lalu kemudian menemukan dan bisa mengembangkan konsep pendidikan Islam yang tepat untuk menjawab pergolakan zaman dan modernisitas untuk kemudian bisa diaplikasikan di dunia pendidikan Indonesia. Sehingga diharapkan mampu melahirkan “Islamic intellectualism".[3]

B.    PEMBAHASAN
1.     Historis Pendidikan Islam di Indonesia
a.     Periodesasi Pendidikan Islam
Sebelum lebih jauh masuk pada pembahasan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Penting untuk mengetahui sejarah munculnya atau periodesasi Pendidikan Islam tentu tidak lepas dengan munculnya agama Islam itu sendiri.
Adapun periodesasi sejarah pendidikan Islam menurut  Prof. Dr. Harun Nasution seperti yang dikutip Hasbullah dalam bukunya Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia menjelaskan terbagi kedalam tiga periode, yaitu periode klasik, pertengahan, dan modern.[4] Selanjutnya Hasbullah menambahkan tahap perkembangan pendidikan Islam dalam beberapa periode:
1). Periode pembinaan pendidikan Islam, yang berlangsung pada masa Nabi Muhammad SAW. 2). Periode pertumbuhan pendidikan Islam, yang berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai dengan akhir kekuasaan bani Umayyah. 3). Periode kejayaan pendidikan Islam, yang berlangsung sejak permulaan Daulah Abbasiyah sampai dengan jatuhnya kota bagdad. 4). Tahap kemunduran pendidikan, yang berlangsung sejak jatuhnya kota bagdad sampai jatuhya mesir oleh napoleon disekitar abad ke-18 M. 5). Tahap pembaharuan pendidikan Islam, yang berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon di akhir abad ke-18 M sampai sekarang ini.[5]   
b.     Sejarah Singkat Masuknya (Pendidikan) Islam di Indonesia
Sidi Ibrahim Boechari, sebagaimana yang dikutip Hasbullah dalam bukunya menjelaskan sebenarnya sejarah telah membuktikan bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M.[6] Sama Seperti yang pernah dikemukakan oleh Prof. Dr. Hamka dalam seminar Masuknya Agama Islam Ke Indonesia di Medan (1963), beliau mendasarkan teorinya, teori Makkah, pada fakta yang berasal dari Berita Cina Dinasti Tang yang menjelaskan bahwa sekitar pada tahun 618-907 M ada pemukiman pedagang arab Islam di Barat Sumatera.[7] Namun ahli sejarah yang lain berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar pada abad ke-13 M.
Adapun perbedaan-perbedaan itu terbagi menjadi 3 teori: Pertama, teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat  India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. [8]
Terlepas dari kontroversi kapan, dimana, dan siapa yang membawa Islam pertama kali ke Indonesia yang jelas Islam baru mulai meluas pada abad ke-13 M. Ini ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam pertama di Indoneisa, yaitu kerajaan samudra pasai dan perlak.
Adapun corak Pendidikan Islam sejak masuknya Islam ke Indonesia terus berkembang. Agar mempermudah kita mencoba membagi dengan beberapa periode perkembangan pendidikan Islam di Indonesia:
1)     Periode Kerajaan Islam (Sebelum Tahun 1900)
       Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa Pendidikan Islam mulai meluas pada abad ke-13 melalui istana-istana kerajaan. Dimuali dari kerajaan pasai di Aceh hingga kerajaan banjar di Banjarmasin. Corak sistem pendidikan pada Periode ini cendrung mengunakan pendidikan informal. Pengajaran dan pendidikan disampaikan di langgar, mesjid dan pesantren. Dimana terdapat seorang guru atau kiai yang menyampaikan pelajaran tersebut dengan sistem sorogan, atau pengajaran individu/berhadapan cuma antara guru dan satu murid saja dan sistem halaqoh yakni pengajaran kolektif, guru menyampaikan pelajaran dan dikelilingi oleh murid/santri.
       Namun pada Periode ini juga sebenarnya, perkembangan sistem pendidikan sudah memperlihatkan kemajuannya. Pada masa kerajaan Aceh Darussalam misalnya, sudah terdapat lembaga-lembaga Negara yang membidangi pendidikan dan ilmu pengetahuan. Kerajaan sudah mengunakan jenjang pendidikan yang sangat berkembang pada masanya dan sudah mengajarkan ilmu-ilmu umum.
       Begitu juga pada kerajaan demak yang kemudian berpindah ke mataram, sistem pengajaran atau pendidikan Islam dipoles dan diadaptasi dengan ajaran Hindu dan Kebudayaan Indonesia asli oleh walisongo. Agar lebih mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat setempat. Memang pada Periode ini system pendidikan Islam di Indonesia cendrung individualistic. Jadi Perkembangan pendidikan islam diberbagai daerah sangat bervariasi.
2)     Periode Kolonialisme Eropa (Masa Peralihan 1900-1908 & Setelah 1909)
       Adapun pada Periode ini corak pendidikan Islam di Indonesia sangat mengalami perkembangan dan pembaharuan.  Salah satu cirinya adalah berdirinya tempat pendidikan Islam terkenal di Sumatera, seperti Surau Paraek Bukit Tinggai dan juga lahirnya pemikiran-pemikiran pembaharuan yang pernah menjadi pendidik di Mesir seperti Syekh Thaher Jalaluddin yang banyak mengemukakan pemikiran Muhammad Abdul lewat Tulisannya dan juga Syekh Khatib Minangkabau, menjadi pendidik pemuda-pemuda Indonesia di Mekkah seperti Buya Hamka, KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari, yang kemudian pada tahun setelah 1909  mereka menjadi pembaharu ajaran dan pendidikan Islam di Indonesia. Seperti KH. Hasyim Asy’ari yang mendirikan Madrasah Salafiyah di Tebuireng Jombang pada tahun 1919 dan surau pertama yang mengunakan system kelas yang didirikan oleh Buya Hamka (Syekh Abdul Karim Amrullah).
       Meski pada saat itu peraturan belanda terhadap perkembangan pendidikan Islam sangat ketat dan keterlalun. Salah satu contoh dari penindasan keilmuan itu dikeluarkannya peraturan pada tahun 1905 bahwa orang yang memberikan pengajaran atau pengajian agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah Belanda. Karena ketakutan yang begitu dalam atas Islam dan misi kristenisasi serta kolonialisme belanda bukan saja mengeruk hasil bumi nusantara Indonesia. Tetapi, berbeda dengan penjajah inggris misalnya yang ikut serta dalam pengembangan keilmuan dan pendidikan pribumi, penjajah belanda melakukan semacam pembodohan terhadap pribumi. Mereka mengenyampingan kemajuan pribumi khususnya dalam sektor pendidikan.        
3)     Periode Penjajahan Jepang
       Berbeda dengan penjajah belanda, jepang lebih lunak dalam menyikapi pendidikan. Sistem belanda dalam bidang pendidikan yang memisahkan antara pengajaran barat dan pribumi pada masa ini akhirnya dileburkan menjadi satu jenis sekolah dengan jenjang pengajaran yaitu : 1). Sekolah Rakyat 6 tahun, 2). Sekolah Menengah 3 tahun, dan 3). Sekolah Menengah Tinggi 3 tahun. Pada masa ini juga KAU (Kantor Urusan Agama) dikembangkan tugasnya, terbentuknya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan juga terbentuknya Hizbullah.
4)     Periode Kemerdekaan
       Pendidakan pasca kemerdekaan mendapat perhatian serius dari pemerintah. Salah satu terlihat dari pembukaan UUD 1945. Begitu juga terhadap perkembangan pendidikan Islam. Ghirah umat Islam pada masa ini menemukan kebebasan semenjak kebijakan kolonialisme belanda yang begitu deskriminatif. Pada masa ini tidak ada lagi pembatasan pendidikan terhadap perbedaan agama, sosial, dan ekonomi. Semua anak bangsa berhak untuk mendapatkan pendidikan terbaik yang diberikan oleh pemerintah. Pendidikan Islam sesuai dengan keputusan pemerintah RI masuk dalam pembinaan Departemen Agama yang secara formal institusional. Departemen Agama mengelola pendidikan Agama yang ada diswasta ataupun negeri yang berada dibawah Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan. Sejak itulah terjadi dualisme Pendidikan di Indonesia. Pada pokok bahasan inilah yang akan kita kaji lebih dalam atas terjadinya dikotomi ini. Terlebih lagi pendidikan Islam melalui kebijakan pemerintah masih sangat terlihat dinomor duakan. [9]

2.     Fenomena Dikotomis Pendidikan
       Dikotomi pendidikan adalah terpisahnya sains agama dan sains umum baik itu secara kelembagaan, pendidikan formal maupun nonformal. Melirik dan membaca sejarah kita sudah dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya sejak awal pasca kemerdekaan pemerintah sudah mencoba melakukan pengupayaan integrasi pendidikan Agama dengan pendidikan Umum. I’tikad dan keinginan ini terlihat jelas dari upaya pemerintah untuk menghindari terjadinya dualisme dalam pengelolaan pendidikan.[10]
       Meskipun pada akhirnya upaya itu mengalami penolakan kaum muslimin. Pemerintah terus berupaya untuk melakukan pembaharuan pendidikan dengan melakukan perubahan-perubahan kebijakan. Namun meskipun demikian tetap saja berimplikasi pada kontroversi dan penolakan dikalangan muslim. Sebagai contoh,  keluarnya SKB Tiga menteri tahun 1975, yang menyatakan ijasah madrasah sederajat dengan ijasah sekolah umum dengan konsekwensi madrasah mengubah porsi mata pelajaran agama yang tadinya 100 % menjadi 30 %, yang sisanya menjadi pelajaran umum.[11]
       Bagaimanapun upaya pemerintah untuk melakukan integrasi tersebut, sebagian penelitian kontemporer seperti M. Amin Abdullah melihat bahwa dikotomi itu masih berlangsung, meskipun beliau mengakui dalam kurun waktu 1998-2005 ketegangan tersebut semakin berkurang.[12] Seperti yang kita tau fenomena ketegangan atau tension yang terjadi antara ilmu pengetahuan dan agama sudah sejak lama terlihat. Dimana kedua disiplin tersebut ibarat dua jalan yang sudah dijustifikasi oleh masyarakat sebagai dua hal yang tak bisa dipertemukan. Sehingga lahir frame konseptual agama dengan pemecahan kongsi dan fungsi serta peranan yang semakin menguatkan perbedaan tersebut. Seperti halnya, fiqh, hadist dan akidah. Lalu kemudian disiplin ilmu tersebut di anggap sudah cukup menjadi refresentasi sektor agama yang menyangkut pada ranah-ranah yang berkorelasi dengan wilayah ketuhanan. Sehingga apapun yang tereliminasi dari disiplin agama dianggap sebagai disiplin umum.
      
3.     Upaya Penyelesaian Masalah (Dengan Pendekatan Sejarah)
a.     Dikotomi Bukan Sumber Masalah
       Seperti yang sudah dijelaskan ketegangan yang sudah berlangsung sejak lama ini  berimpilkasi pada sektor pendekatan struktural-politis. Yakni terpisahnya dua lembaga pemerintahan, Departemen Agama dan Departemen Pendidikan. Tentu kita harus terlebih dahulu mengkaji kenapa dikotomi ini bisa terjadi. Melalui pendekatan sejarah penulis melihat dikotomi pendidikan di Indonesia adalah mutlak sebagai warisan dari kolonialisme. Dimana kemudian keadaan itu mengakar dan pada akhirnya mempengaruhi paradigma pemeritah terhadap pengambilan kebijakan-kebijakan dalam sektor pendidikan pasca kemerdekaan hingga sekarang.  Bahkan menurut sebagian masyarakat masih banyak pejabat pemerintah yang memandang sebelah mata terhadap pendidikan Islam dan lebih-lebih juga banyak kepentingan-kepentingan individu maupun kelompok yang bercongkol didalamnya. Sehingga permasalahan pendidikan kontemporer sekarang ini harus berhadapan dengan adanya persoalan politis antara para pemegang kekuasaan.
       Penting untuk diketahui bahwa, menurut saya, kita terlebih dahulu harus melihat dan melakukan pemahaman tentang dualisme pendidikan “ilmu-ilmu agama” (al-‘umum al-diniyyah atau religious sciences) dengan “ilmu-ilmu umum” (general sciences) di Indonesia ini sebagai sebuah kecelakaan sejarah “historical accident” yang harus dipahami sebagai imbas politis masa lalu. Kesadaran kolektif ini perlu, sebagai dasar kajian untuk menemukan solusi terbaik terhadap permasalah ini. Sebagaimana yang disampaikan Suparlan bahwa dengan sejarahnya, manusia memperbaiki pendidikannya.
Oleh karena itu mari kita kembali melirik sejarah panjang perjalanan pendidikan bangsa ini. Kita mencoba memahami dan mengkaji permasalahan pendidikan bangsa ini dengan tidak hanya melihatnya dari sudut pandang saja. Namun, serta merta kita mencoba mengkajinya dengan sudut lain. Pihak pemerintah misalnya, tidak pernah sekalipun bermaksud untuk melakukan pembiaran terhadap fenomena dikotomis ini, meskipun pada awalnya memang dikotomis ini sebenarnya diciptakan oleh pemerintah itu sendiri yang saya kira itu masih dalam masa transisi dalam menyikapi pengaruh feodalisme kolonial terhadap pendidikan. Namun, atas alasan yang mendasar, untuk dan demi pengembangan pendidikan secara konprehensif dalam menghadapi tuntutan modern pemerintah terus berusaha melakukan integrasi keilmuan tersebut. Pemerintah sadar bahwa agama adalah hal yang penting sebagai landasan hidup dalam bebangsa dan bernegara. Sejak kemerekaan pemerintah sudah memperlihatkan keseriusannya dalam mencari jalan keluar atas permasalahan ini. Modernisasi pendidikan Islam, dengan tujuan memperkecil ketertinggalan pendidikan umum modern, terus dilakukan pemerintah dengan berulang-ulang mencoba menemukan dan mempersatukan pendidikan Indonesia. Upaya ini patut dan layak kita apresiasi meskipun dalam perjalanannya terus menuai kritik. Namun, lagi-lagi kritik itu sangat dibutuhkan. Sehingga fenomena hari ini upaya integrasi tersebut, kita akui atau tidak, sudah memperlihatkan titik terang. [13]
       Dilain pihak, banyak para pemikir Islam dan pembaharu Islam di Indonesia maupun pembaharu islam internasional yang menyajikan pemikirannya untuk menawarkan upaya penyelesaian dikotomis ini. Seperti misalnya, ide “Inter-koneksitas” yang disajikan oleh M. Amin Abdullah dalam bukunya Islamic Studies Di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif, beliau  mencoba menawarkan ide tersebut sebagai satu solusi yang diharapkan mampu mengurangi ketegangan yang terjadi antara “normativitas” dan historisitas” yang beragam didalam berbagai Perguruan Tinggi Agama Islam di Indonesia. Beliau, melalui paradigma keilmuan-nya dalam analisis problem tersebut mencoba menyajikan dan menawarkan paradigma tersebut, yang menurutnya lebih produktif dalam penyelesaian kompleksitas yang terjadi.
       Upaya-upaya itu sudah cukup berpengaruh untuk kajian-kajian keislaman dalam mencapai dan menjawab dilema pendidikan Indonesia kontemporer . Penulis menilai semua upaya itu secara epistemologi sudah sangat “mengiurkan” untuk dikonsumsi. Namun, mereka cendrung melupakan kajian dengan pendekatan sejarah. Meskipun ada, itu hanya berorientasi pada kajian sejarah pada wilayah historisitas ilmu-ilmu ke-Islaman saja, tidak melakukan kajian dengan pendekatan sejarah Indonesia. Dimana hal tersebut disini menjadi perhatian utama penulis dengan melihat bagaimana permasalahan itu semua dengan melirik sejarah pendidikan islam Indonesia. Lebih-lebih kita sekarang bicara dikotomi pendidikan di Indonesia.
b.     Solusi
       Jika intergrasi itu sudah terlihat dan dirasakan. Lalu bagaimana dengan fenomena wajah pendidikan Indonesia dan tingkah laku anak didik yang memprihatinkan sebagaimana sudah kita jelaskan di permulaan. Penulis melihat bahwa sebenarnya sumber masalah terjadinya fenomena kualitas pendidikan yang kurang baik bahkan secara SDM-nya buruk itu bukanlah serta merta diakibatkan oleh dikotomis pendidikan di Indonesia. Sebab, saya melihat Upaya integrasi dikotomi pendidikan sudah maksimal dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan-kebijakan dengan basis tujuan modernisasi pendidikan. Begitu juga para pemikir dan pembaharu pendidikan Islam Indonesia, mereka juga sudah banyak melakukan kajian epistemology dengan aneka ide kritis mereka.
Tetapi penulis melihat masalahnya bersumber pada beberapa hal:
1)     Masih terjadinya “communication gap” antara sesama intelektual/pemikir Muslim maupun.[14] Para pemikir atau intelektual muslim klasik dan modern masih susah disatukan dalam memandang hal ini. Masih banyak pemikir dan tokoh islam yang menaruh curiga dan apatis terhadap paham modernisasi pendidikan. Tentu sikap itu lahir justru dikarenakan para pemikir ide modernisasi belum mampu sepenunya mendekati para tokoh-tokoh klasik.
2)     Begitu juga yang terjadi antara intelektual Islam dengan pemerintah. Pemerintah cendrung terlihat masih diskriminatif terhadap pendidikan Islam. Meski posisinya sudah terintegrasi dengan sistem pendidikan nasional, tetapi pada perolehan anggaran pembiyaan hak sekolah-sekolah jauh lebih rendah ketimbang anggaran yang diberikan kepada sekolah yang dibawahi Departemen Pendidikan. Ditambah problematik anggaran pendidikan sesuai Undang-Undang yang belum maksimal direalisasikan. Begitu juga dengan kurikulum pendidikan yang terus berganti secara politis setiap kabinet berganti. Apa yang disajikan pemerintah seperti yang pernah disampaikan oleh Ahmad Syafii Maarif bahwa pendidikan yang diselenggarakan tidak lagi mengacu kepada dan mengantisipasi zaman yang sedang berubah dan bergulir.
Tentu saya melihat dua hal inilah yang menjadi perhatian serius oleh intelektual klasik maupun modern dan juga pemerintah. Hal Inilah yang saya lihat luput dari perhatian kita bersama. Upaya-upaya pembaharuan yang ditawarkan oleh banyak pembaharu Islam di Indonesia seperti sekularisasri, Islamisasi atau Modernisasi akan menemukan titik kesulitan aplikatif jika sumber permasalah tidak mendapat titik temu. Orang-orang yang berada di Kementrian Agama sebagai refresentatif dari intelektual muslim saya kira masih kurang mampu meyakinkan pemerintah terhadap formulasi pendidikan yang ditawakan para pembaharu muslim saat ini. Posisi politis itu, lagi-lagi, menghambat idealisme mereka dalam menawarkan dan menyajikan konsepsi pendidikan Islam yang diinginkan. Sehingga keberanian intelektual Musliam yang fazrul Rahan tawarkan harus diangkat kepermukaan. Hanya dengan mempertemukan pandangan antara intelektual muslim dan pemerintah selaku pemangku kebijakan yang akan menjadi bola salju untuk memecah kebuntuan dan dilema dikotomi pendidikan tersebut. Jika diktomi ini terus terjadi, maka kita tidak hanya akan berada pada peringkat 110 tapi bisa lebih rendah dari itu.
      



C.    KESIMPULAN
       Islam sebenarnya tak pernah mengenal dikotomi. Pada masa kejayaannya, pendidikan islam menguasai dan mewarnai dunai Islam dengan bermunculannya disiplin ilmu yang integrated. Namun, di Indonesia pasca kemerdekaan dan dikarenakan factor politis pendidik islam mengalami dikotomisasi. Sekarang pemerintah memang terus berusaha melakukan “interkonektif” tersebut. Melakukan modernisasi pendidikan agar bisa terus mengikuti perkembangan modern. Begitu jua para pemikir atau intelektual muslim juga terus berupaya menemukan dan mengajukan ide-ide untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan bangsa ini. Kemerosotan akhlak anak didik, perilaku anarkis dan jauh dari budaya Indonesia dan Islam sebagai agama terbesar di Indonesia, diperkirakan akibat dikotomi tersebut.
       Tetapi penulis melihat bahwa dikotomi itu bukanlah sebab yang sebenarnya, sebab diktomi pendidikan tersebut sudah perlahan terintegrasi oleh kebijakan pemerintah yang yang terus melakukan perbaikan-perbaikan. Ditambah lagi upaya para intelektual muslim yang terus juga berusaha menawarkan format pendidikan yang tepat. Terlihat banyaknya lahir dan muncul Universitas-universitas Islam dibanyak bagian di Indonesia. Ini sudah merupakan cukup bukti bahwa pendidikan islam sudah mengalami perkembangan seiring berkembangnya zaman.
       Namun, justru yang menjadi semua itu masih belum maksimal adalah terjadinya “communication gap” antara sesame intelektual muslim klasik dan modern dan juga dengan pemerintah. Ditambah lagi pemerintah yang masih setengah hati dan terkesan deskriminatif terhadap pendidikan islam.
      









DAFTAR PUSTAKA

Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995.
http://www.anneahira.com/skripsi-sejarah.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia
Jabali, Fuad & Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia, Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 2002.
Rahman,Fazrul, Islam and Modernity: Transformation of An Intellectual Tradition, Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media, 2007.
Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta : LP3ES Indonesia, 2003)









[1] Suparlan Suhartono, Filsafat Pendidikan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hal. 80
[2] Ibid, hal. 110
[3] Fazrul Rahman, Islam and Modernity: Transformation of An Intellectual Tradition (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1982), hal.1 Ini adalah sebutan yang menurut Rahman sebagai  “essence of higher Islamic education”.
[4] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995) hal. 15. Pembagian Prof. Dr. Harun Nasution ini dikutip Hasbullah dalam buku Pembaharuan Dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1991) hal.11.
[5] Ibid.,hal.16
[6] Ibid.,hal.17
[7] http://www.anneahira.com/skripsi-sejarah.htm
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia
[9] Lebih lanjut tentang sejarah ini dapat ikuti dalam buku penulis Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995)
[10] Fuad Jabali & Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia (Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 70
[11] Ibid, hal. 71-72
[12] Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012)
 [13] Upaya-upaya pemerintah ini dapat dilihat lebih lanjut di Fuad Jabali & Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia (Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 119-127
[14] Istilah ini penulis pinjam dari dari Ahmad Wahib dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib (Jakarta : LP3ES Indonesia, 2003).” Communication Gap” yang penulis maksud adalah adanya celah serta jurang pemisah komunikasi yang begitu jauh dan susah untuk dipertemukan dan cendrung apatis satu sama lain.

In Memoriam "Drs. HM. Asy'ary, MA"


“Innalillahi wainna ilahi rojiun, Pa Asy’ari wafat dan akan disholatkan dan dikebumikan besok selepas sholat jum’at”. Begitu nada pesan singkat yang masuk dari beberapa teman ke handphone saya selepas isya tadi malam. Beberapa juga saya lihat dari berbagai kalangan, yang pernah menjadi murid maupun tidak, yang kenal dekat beliau ataupun tidak, mendoakan dan memberikan rasa belasugkawa-nya di beberapa media sosial. Sesungguhnya kita adalah milik Allah dan kepadanya lah jua kita kembali.

Terakhir saya bertemu beliau sekitar 3 bulan yang lalu di Yogyakarta. Saat beliau menghadiri kegiatan halal bihalal beserta rombongan Gubernur dengan masyarakat Banjarmasin yang ada di Yogyakarta. Kembali teringat sosok beliau yang begitu sangat sederhana. Bahkan dulu ketika saya masih menjadi murid beliau, untuk berangkat mengajar ke kampus beliau sering terlihat mengunakan motor sendiri. Pernah suatu ketika diwaktu istirahat kita dan beberapa teman terlibat diskusi. Tiba-tiba dari belakang beliau menghentikan langkanya tepat dihadapan kami. Sambil tersenyum beliau bilang " saya senang melihat mahasiswa yang berdiskusi sambil menggerak-gerakan tangannya". "silahkan lanjutkan" kata beliau kembali seyum sembari melanjutkan langkanya.     

    


Sebagai orang yang pernah langsung belajar dengan beliau tentu bukan hanya saya yang merasa kehilangan, bahkan seluruh masyarakat banjar juga sangat merasa kehilangan. Sosok beliau yang santun, cerdas, sederhana dan sangat bersahabat dengan siapa saja, itulah yang menjadikan beliau sosok yang dikagumi sekaligus dicintai banyak orang. 

Kenangan-kenangan fhoto bersama beliau selepas mata kulaih selesai

Semoga beliau mendapatkan ridho Allah. Amin Ya Robbal Alamin. 

Tuesday, December 3, 2013

Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam Di Indonesia


Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam Di Indonesia
Oleh : Willy Ramadan
         
A.     Sejarah Masuknya Islam Ke Indonesia
       Perkembangan Islam pada masa awal di Indonesia adalah hal yang selalu menarik untuk dikaji dan diteliti. Sebab penyebaran Islam di perairaian nusantara begitu cepat menyebar dan beradaptasi tanpa menimbulkan peperangan ataupun benturan-benturan terhadap adat budaya dan tradisi lokal yang ada. Islam masuk ke Indonesia melalui proses damai yang berlangsung selama berabad-abad. Meski begitu pemahaman akan sejarah Islam di Indonesia (kawasan Asia Tenggara) memerlukan pendekatan yang sangat kompleks. Kompleksitas itu terlihat bahwa Islam bukanlah agama pertama di kalangan masyarakat. Islam masuk kedalam wilayah masyarakat yang sudah memiliki paham dan agama terdahulu.[1]
Perihal kapan, dari mana dan bagaimana Islam datang ke Indonesia adalah permasalahan yang terus diperdebatkan oleh beberapa ilmuan. Adapun tentang perdebatan ini banyak kita temukan dalam beberapa literature sejarah Islam. Diantaranya, Sidi Ibrahim Boechari misalnya sebagaimana yang dikutip Hasbullah dalam bukunya menjelaskan sebenarnya sejarah telah membuktikan bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M.[2] Sama Seperti yang pernah dikemukakan oleh Prof. Dr. Hamka dalam seminar Masuknya Agama Islam Ke Indonesia di Medan (1963), beliau mendasarkan teorinya, teori Makkah, pada fakta yang berasal dari Berita Cina Dinasti Tang yang menjelaskan bahwa sekitar pada tahun 618-907 M ada pemukiman pedagang arab Islam di Barat Sumatera.[3] Namun ahli sejarah yang lain berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar pada abad ke-13 M.
Adapun perbedaan-perbedaan itu terbagi menjadi 3 teori: Pertama, teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat  India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M. [4]
Pada Literature yang lain bahkan mengemukakan empat teori. Teori yang pertama menyatakan bahwa Islam datang dan berkembang berasal dari anak benua India, Gujarat dan Malabar. Teori ini diperkenalkan oleh G.W.J. Drawes lalu kemudian dikembangkan oleh Snouck Hurgronje. Teori kedua mengatakan Islam datang dari Begal seperti yang disampaikan dan diungkapkan oleh Prof.S.Q.Fatimi.[5] Dia menganggap bahwa teori batu nisa di makam Malik As-Shaleh (1297 M) di Sumatera berbeda dengan batu nisan di Gujarat. Tetapi justru batu nisan Fatimah binti Maimun (1082 M) di Leran, Jawa Timur memiliki kesamaan dengan batu nisan di Begal. Teori ketiga, menyatakan Islam datang dan masuk melalui Coromadel dan Malabar. Teori ini disampaikan oleh Thomas W. Arnold, dia membantah kalau Islam itu datang dari Gujarat sebagai sumber penyebaran. Alasannya sebab Gujarat saat itu secara politis belum menjadi pusat perdagangan yang menghubungankan antara wilayah Nusantara dangan wilayah Timur Tengah. Adapun teori keempat, menegaskan bahwa Arab sebagai sumber aslinya lah yang memasuki Islam pertama kali ke Indonesia.[6]
B.    Proses Islamisasi di Indonesia
       Seperti yang kita ketahui proses datang dan masuknya Islam ke Indonesia penuh dengan kedamaian dan diterima masyarakat  secara terbuka. Penting untuk diketahui bagaimana dan melalui apa saja Islam masuk ke Indonesia. Adapun proses-proses melalui berbagai bentuk dan cara :
1.     Perdagangan
Diantara proses islamisasi pada permulaan ialah melalui sektor perdagangan. Ini sesuai dengan kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga abad ke-16 M antara negeri bagian barat, tenggara dan timur benua Asia, dimana pedagang-pedagang Muslim (Arab, Persia dan India) juga turut serta mengambil bagian perdagangan mereka ke Indonesia.[7] Sehingga pada akhirnya mereka mendirikan perkampungan sendiri (perkampungan pedagang Muslim dari negeri asing) yang disebut Pekojan[8]
2.     Perkawinan
Perkawinan juga merupakan sebuah proses islamisasi yang sangat besar pengaruhnya dan paling memudahkan penyebaran islam dikalangan masyarakat. Dengan perkawinan maka akan terbentuk ikatan kekerabatan antara kedua belah pihak. Perkawinan terjadi antara pedagang atau saudagar dengan wanita pribumi. Dari sudut ekonomi, pada pedagang dan saudagar muslim memiliki status sosial yang lebih baik dianding kebanyakan pribumi, sehingga banyak putrid-putri bangsawan untuk menjadi istri-istri mereka. Dimana mereka diidlamkan terlebih dahulu sebelum dikawinkan. Perkawinan itu seperti :
a.     Perkawinan antara puteri Cempa dengan Sultan Brawijaya melahirkan Raden Patah.
b.     Perkawinan antara Rara Santang (Puteri Prabu Siliwangi) dengan Syarif Abdullah melahirkan Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
c.      Perkawinan antara puteri Blambangan dengan Maulana Ishak mempunyai seorang putera bernama Raden Paku (Sunan Giri).
3.     Pendidikan
Islamisasi melalui proses pendidikan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam penyebaran agama Islam. Para ulama, guru agama dan raja melakukan islamisasi ini dengan mendirikan sekolah agama atau pondok-pondok pesantren. Proses ini terus berkelanjutan, dibuktikan alumni-alumni atau lulusan-lulusan pesantren kembali ke kamping mereka masing-masing menjadi guru agama, kyai dan tokoh agama yang kemudia mengajarkan masyarakat serta mendirikan pendidikan pesantren lagi.
4.     Tasawuf
Tasawuf juga merupakan salah satu proses penting dalam proses islamisasi. Pengajar-pengajar tasawuf atau para sufi, mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran-ajaran yang pada saat itu sudah dikenal oleh masyarakat secara luas. Dengan tasawuf, Islam menjadi satu bentuk yang diajarkan mempunyai kesamaan dengan alam pikirmereka yang sebelumnya menganut agama hindu sehingga mampu dengan mudah dipahami.[9]
5.     Seni Budaya
Proses islamisasi melalui seni seperti seni bangunan, seni pahat, seni ukir, seni tari, music dan sastra.Salah satu contohnya adalah seni pertunjukan wayang, yang digemari masyarakat. Dikatakan bahwa sunan Kalijaga adalah tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang.[10] Dengan melalui cerita-cerita wayang tersebut disisipkan ajaran agama Islam.
6.     Politik
Islamisasi agama melalui politik dilakukan oleh para penguasa. Pengaruh kekuasaan sangat berperan penting dalam proses ini. Ketika seorang raja memeluk agama Islam maka rakyat juga akan mengikuti.
C.    Perkembangan Kekuasaan Islam di Indonesia
1.     Perkembangan Kerajaan-kerajaan Islam
Terlepas dari kontroversi kapan, dimana, dan siapa yang membawa Islam pertama kali ke Indonesia yang jelas Islam baru mulai meluas pada abad ke-13 M. Ini ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam pertama di Indoneisa, yaitu kerajaan samudra pasai dan perlak. Menurut Azyumardi Azra, bahwa meskipun sebenarnya Islam sudah diperkenalkan ke Nusantara sejak abad pertama Hijriah atau abad ke-7 M, tetapi baru setelah abad ke-12 M pengaruh Islam mulai lebih terlihat dan mengalami akselerasi. Pergeseran dari sebuah komunitas ke sosietas Islam berjalan lamban. Hingga pada abad ke-13 M, sejak Islam berhasil masuk pada wilayah kekuasaan politik (kerajaan) sehingga dengan cara ini mampu mendapatkan dukungan rakyat agar memasuki Islam. Apalagi, Islam sebagai minoritas yang tidak mendapatkan perhatian masyarakat sebelumnya menjadi kekuatan yang berpengaruh dan diperhitungkan oleh penguasa lokal. Diantara kerajaan-kerajaan adalah sebagai berikut :
1.     Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra
a.   Kerajaan Samudra Pasai
b.   Kerajaan Aceh Darussalam
c.   Kerajaan-kerajaan Islam di Riau
d.   Kerajaan Islam di Jambi
e.   Kerajaan Islam di Sumatra Selatan dan Barat
2.     Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa
a.    Kerajaan Demak
b.    Kerajaan Pajang
c.    Kerajaan Mataram
d.    Kerajaan Cirebon
e.    Kerajaan Banten
3.     Kerajaan-kerajaan Islam di Nusa Tenggara
a.    Kerajaan Lombok dan Subawa
b.    Kerajaan Bima
4.     Kerajaan-kerajaan Islam di Maluku
a.    Kerajaan Ternate
b.    Kerajaan Tidore
5.     Kerajaan-kerajaan Islam di Sulawesi
a.    Kerajaan Gowa-Tallo
b.    Kerajaan Bone
c.    Kerajaan Wajo
6.     Kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan
a.    Kerajaan Banjar (Banjarmasin)
b.    Kerajaan Kutai
c.    Kerajaan Pontianak[11]
2.     Hubungan Antar Kerajaan dan Pola Pembentukan Negara
Antara satu kerajaan dengan kerajaan yang lain memiliki jalinan yang erat satu sama lain. Pertama-tama memang dikarenakan persamaan agama, dimana pada awalnya hubungan itu membentuk kegiatan dakwah. Seperti halnya Fadhilah Khan dari Pasai datang ke Demak dalam rangka memperluas kekuasaan ke Sunda Palapa. Dalam bidang plitik juga jalinan ini untuk menghadapi pihak yang non-Islam yang mengancam kehidupan ekonomi mapun politik. Tetapi, atas dasar perbedaan kepentingan peperangan juga terjadi diantara kerajaan-kerajaan muslim.
Dalam rentang waktu sejak lahirnya Kerajaan Islam Samudera Pasai di Aceh pada akhir abad ke-13 hingga Kerajaan Gowa-Tallo di Makassar pada abad ke-17, mengutip pendapat Taufik Abdullah, Badri Yatim memaparkan tiga pola yang menjadi “pembentukan budaya” yang terlihat dalam prosesi pembentukan Negara.
1.     Pola Samudra Pasai :
Kelahiran kerajaan Samudra Pasai melalui proses perubahan negera segmenter kepada Negara yang terpusat. Dalam proses ini kerajaan menghadapi begitu banyak wilayah yang belum ditundukkan atau diislamkan, sehingga masalah ini harus diselesaikan ditambah lagi pertentangan politik dan pertentangan keluarga yang berkepanjangan. Saat proses perkembangannya, kerajaan samudra Pasai juga menjadi pusat pengajaran agama juga memiliki kewenangan yang kuat sehingga bebas untuk memformulasikan struktur serta system kekuasaan.
2.     Pola Sulsel
Islamisasi pada pola ini melalui konversi keraton dan pusat kekuasaan serta konversi agama. Konversi kekuasaan terjadi juga seperti di Sulsel, Maluku dan Banjarmasin. Pola ini tidak mengubah desa menjadi suatu bentuk baru dengan organisasi kekuasaan seperti halnya kerajaan Samudra Pasai. Begitu juga konversi agama, dijalankan tetapi pusat kekuasaan sudah terlebih dahulu ada.
3.     Pola Jawa
Pada pola ini sistem politik dan struktur kekuasaan sudah lama mapan. Namun, kerajaan-kerajaan ini cendrung mengalami masalah pada dilema legitimasi politik dan dilema kultural. Sehingga kerajaan ini mengupayakan sebuah proses pembentukan tradisi yang bercorak integratif (budaya-budaya pra-Islam tidak ditinggalkan). Salah satu upaya tersebt terlihat pada zaman Sultan Iskandar Muda yang melakukan sebuah perumusan integrasi “hukum dan adat ibarat kuku dan daging”. Begitu juga kerajaan Bone yang menggabungkan hukum Islam ke dalam lembaga tradisional Bone. [12]
  
D.    Perkembangan Pemikiran Islam di Indonesia
       Pemikiran Islam masuk ke Indonesia tentu seiring dengan masuknya Islam itu sendiri. Sebagaimana yang sudah dijelaskan pada pembahasan awal bahwa perihal masuknya Islam ke Indonesia sudah menjadi perdebatan. Menurut Hasil Seminar Masuknya Islam di Indonesia pada 1963, disepakati bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7 M. Meskipun itu hanya sebagai kontak individu.[13]
       Masuknya pemikiran Islam ke Indonesia telah berbaur dengan pemikiran-pemikiran Persia-India yang menggunakan pandangan esoteris. [14]     Hal ini diperkuat dengan pikiran yang dianut  oleh Hamzah Fansari (1590 M) dan Nuruddin Ar-Raniri (1658 M), yakni pemikiran yang mengarah pada Immanensi, pemikiran yang serupa dengan pemikiran yang berkembang di Indonesia pada saat itu. Sehingga pemikiran Islam mudah masuk dimasyarakat. Pemikiran yang mengajak manusia untuk memikirkan tentang hakikat dirinya serta hubungan dengan sang pencipta untuk mencari jalan agar dekat dengan sang pencipta.
       Pemikiran eksoteris yang memiliki karakter rasionalitas berkembang di Indonesia setelah terjadinya Revolusi Perancis melalui orang-orang Indonesia sendiri yang berkenalan dengan budaya barat dan juga melalui surat kabar yang datang dari belanda, namun hanya terbatas pada kalangan pelajar yang menguasai bahasa. Pemikiran ini makin menyebar luas ketika banyak dari kalangan pelajar Indonesia yang kembali dari Mesir, yang semangatnya terpancar melalui majalah al-Manar. [15]
       Sejak kolonial mulai masuk menjajah Indonesia, kehidupan beragama mulai berada pada posisi tertekan. Pesantren-pesantren mulai tersisihkan ke luar kota. Bahkan dengan memperlakukan hukum Islam yang berorientasi hanya pada bidang akidah dan ibadah, Belanda juga berusaha mengarahkan kaum muslimin pada bidang tasawuf agar memiliki pemikiran ukhrawi saja. Pemikiran ini berlangsung lama hingga pemikiran Islam Modern di Indonesia masuk melalui para pelajar yang menimba ilmu di Belanda dan Mesir. Kemudian pemikiran ini berkembang melalui pergerakan-pergerakan Islam Modern, yang pada akhirnya ini menjadi pendorong untuk membebaskan tanah air dari tangan penjajah.
       Gerakan perkumpulan Jami’at Khair (1901) misalnya, perkumpulan yang didirikan secara diam-diam ini pada akhirnya menghasilkan tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi pelopor seperti KH.Ahmad Dahlan yang menjadi pendiri Muhammadiyah. Perkumpulan ini mengalami pengawasan yang ketat dari pemerintah Belanda. Disini juga lahir Muhammadiyah (1912) dengan tujuan untuk membersihkan unsure-unsur bid’ah dikalangan masyarakat muslim Indonesia. Disini juga didirikan Persatuan Oemat Islam (1917) yang dipelopori oleh KH.Ahmad Halim, yang salah satu kontribusinya adalah mengembangkan sektor pendidikan dengan salah satunya adalah mendirikan perguruan tinggi yang diberi nama Santi Ashrama. Selanjutnya lahir juga suatu perkumpulan modernis Islam, yaitu Nahdatul Ulama (1926). NU yang didirikan oleh KH.Hasjim Asy’ariini akhirnya meluas menjadi sebuah perkumpulan Islam yang umum, bermazhab Syafi’i. Kegiatanya dalam pengembangan tabliq-tabliq pendidikan dengan tujuan agar umat muslim sadar akan kewajibanya terhadap agama. Ketika bangsa Indonesia sebakin terpuruk dan terpecah-belah oleh kolonial Belanda, maka KH.Khasjim Asy’ari (NU) dan KH.Mas Mansur (Muhammadiyah) memprakarsai mendirikan Majlis Islam ’Ala Indonesia (MIAI) pada tahun 1937 M, yang bertujuan untuk mempersatukan umat Islam dalam sebuah ikatan agama.[16]
       Gerakan-gerakan pemikiran Islam dibagi oleh Abdul Karim menjadi empat: Gerakan Purifikasi (Purification), Reformasi (Reformation), Rekonstruksi (Reconstruction), dan Reinterpretasi (Reinterpretation). Gerakan purifikasi bergerak dalam pengupayaan untuk memurnikan ajaran-ajaran Islam dari syirik, khurafat, dan takhayul. Penyimpangan ajaran ini disebabkan pada masa penjajahan masyarakat muslim terpecah-pecah. Salah satu upaya ini dilakukan melalui media pendidikan sehingga pemurnian Islam ini bersifat masal. Gerakan reformasi ini lahir ditandai dengan munculnya gerakan-gerakan modern Islam. Gerakan ini dalam perjalanannya mengalami kesulitan dikarena dihalang-halangi oleh pemerintah Belanda. Seperti gerakan purifikasi, gerakan ini juga mendapat hambatan yang kuat dari gerakan Islam tradisional karena dianggap ekstrim yang dalam geraknya mereka bahu-membahu dengan gerakan nasionalis dan komunis.
       Selanjutnya lahirlah gerakan rekonstruksi. Gerakan ini lahir berawal sejak runtuhnya kekhalifahan Abbasiah (1258 M) yang mengakibatkan pemikiran Islam menjadi terkotak-kotak, banyak yang tidak lagi mendasarkan pemikirannya kepada Al-Qur’an, Hadist dan Ijtihad tetapi kepada fatwa-fatwa imam mereka. Gerakan ini terus berkembang secara merata diberbagai Negara Islam melalui media-media pers dan kitab-kitab karangan para pemikir gerakan ini. Namun dikarenakan gerakan ini memiliki cendrungan terhadap barat orang akhirnya meninggalkan gerakan pemikiran ini. Lahirlah gerakan reinterprestasi, upaya untuk memberika udara segar untuk melakukan pebaharuan penafsiran terhadap Al-Qur’an dan Hadist yang tadinya tekstual menjadi substansial. Gerakan ini mendapat sambutan yang luar biasa dari kalangan kaum muslim. Gerakan ini juga yang memberikan banyak kontribusi terhadap perkembangan kreativitas, baik yang bersifat budaya maupun moral.[17]
  
Daftar Pustaka

Abdurrahman, Dudung, 2003, Sejarah Peradaban Islam; Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogyakarta: LESFI Yogyakarta.
Baso, Ahmad, 2005, Islam Pasca-Kolonial; Perselingkuhan Agama, Kolonial, dan Liberalisme, Bandung: Mizan.
Hasbullah, 1995, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia;Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Karim, Abdul, 2012, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Karim, Abdul, 2007, Islam Nusantara, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Syaefuddin, Machmud dkk, 2013, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta.
Poesponegoro, Marwati Djoened,  2010, Sejarah Nasional Indonesia III, Jakarta: Balai Pustaka.
Yatim, Badri, 2004, Sejarah Peradaban Islam II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
http://www.anneahira.com/skripsi-sejarah.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia



[1] Dudung Abdurrahman, Sejarah Peradaban Islam; Dari Masa Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta: LESFI Yogyakarta, 2003), hal. 373
[2] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia; Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995) hal. 17
[3] http://www.anneahira.com/skripsi-sejarah.htm
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia
[5] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2012), hal. 324
[6] Machmud Syaefuddin, Dinamika Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013), hal. 249-250
[7] Ahmad Al-Usairy, Sejarah Islam, Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Jakarta: Akbar Media, 2003), hal.336
[8] Machmud Syaefuddin, (2013), hal. 251
[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam II, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 202
[10] Badri Yatim, (2004), hal. 203

[11] Lihat Marwati Djoened Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia III, (Jakarta: Balai Pustaka, 2010).
[12] Badri Yatim, (2004), hal. 224-230

[13] Abdul Karim, Islam Nusantara, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hal. 56
[14] Pemikiran secara esoteris yaitu pemikiran yang diarahkan kearah bagian terdalam dari dirinya. Pemikiran falsafi dari pemikiran mikrokosmos terhadap esensi atau eksistensi dirinya atau lebih dikenal dengan sebutan pemikiran kontemplatif. Sedangkan Pemikiran secara eksoteris yaitu pemikiran yang mengarah ke dunia luar (diluar dirinya) dengan bahasa falsafi dari pemikiran mikrokosmos kea rah makrokosmos atau disebut pemikiran rasional. Pembagian ini dipinjam oleh Abdul Karim pada James Wood dan Lawrence H. Dawson dalam buku The Nuttal Encyclopedia, hal. 215. Lebih lanjut lihat Abdul Karim, (2007), hal. 36-37.   
[15] Abdul Karim, (2007), hal. 61. Lihat juga Abdul Karim, (2012), hal. 334.
[16] Lihat Abdul Karim, (2012), hal. 334-340.
[17] Abdul Karim, (2007), hal. 62-67. Lihat juga Abdul Karim, (2012), hal. 333
Powered by Blogger.

Text Widget

Followers