DILEMA PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
DILEMA PENDIDIKAN ISLAM INDONESIA
Upaya Mengkaji Integrasi Dikotomi Pendidikan
Islam Dan Umum Di Indonesia
Melalui Pendekatan Historis
Oleh
: Willy Ramadan
A.
PENDAHULUAN
Secara sederhana, pendidikan adalah
sebuah proses humanisasi, yang berarti memanusiakan manusia. Pendidikan bertujuan
untuk menjadikan manusia lebih baik dalam menjalani kehidupan. Suparlan
menyimpulkan bahwa pendidikan merupakan sistem proses perubahan menuju
pendewasaan, pencerdasan, dan pematangan diri.[1] Sehingga
kemudian dengan proses tersebut diharapkan mampu menjalani tatanan kehidupan
bermasyarakat dengan baik. Baik itu dalam tatanan kehidupan beragama, ekonomi,
sosial, politik dan lainnya.
Semua tentu sepakat dan tak ada yang menolak akan urgensi
serta vitalitas posisi pendidikan dan peranannya dalam memperbaiki kehidupan
manusia. Baik itu pendidikan formal maupun informal. Begitu juga halnya dengan
pemerintah Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sejak kemerdekaan
Indonesia, para pejuang kemerdekaan menginginkan atau mencita-citakan agar
kemerdekaan mampu “mencerdaskan” masyarakat bangsa ini agar menjadi bangsa yang
besar dan terdidik. Terlepas
kontroversi yang berkembang, pergantian
kurikulum yang terus berkembang dan bergonta ganti sejak tahun 1947, kita patut
apresiatif terhadap upaya pemerintah untuk menemukan model pendidikan yang
tepat untuk bangsa ini. I’tikad mulia
ini semakin jelas terlihat dalam banyak-nya Undang-Undang yang begitu
menempatkan posisi urgensitas pendidikan bangsa ini.
Misalnya dalam
UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan
bahwa, Pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Namun sayangnya pada kenyataannya konsepsi pemerintah itu belum mencapai nilai maksimal seperti yang
dicita-citakan. Menurut hasil survey UNDP (2002) misalnya, bahwa kualitas SDM
Indonesia ternyata hanya menduduki urutan 110 dari 179 negara di dunia , posisi
Indonesia hanya satu tingkat diatas Vietnam, dan jauh tertinggal di bawah
Philipina, Thailand, Malasyia dan Singapura. Bila dibandingkan India, Indonesia
sangat jauh tertinggal. Fakta lain, berdasarkan hasil survei Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berpusat di Hongkong pada tahun
2001 disebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia,
yaitu dari 12 negara yang disurvei, Korea Selatan dinilai memiliki sistem
pendidikan terbaik, disusul Singapura, Jepang dan Taiwan, India, Cina, serta
Malaysia. Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com).
Para pakar pendidikan
Indonesia menilai, hal ini terjadi salah satunya adalah disebab karena adanya
dikotomi pendidikan agama dan umum yang sudah berlangsung lama. Mereka menilai
sistem pendidikan di Indonesia terlihat terlalu mengutamakan ilmu pengetahuan
umum dan melupakan aspek ilmu agama. Untuk menelaah itu semua, penulis mencoba
melihat ini semua dengan metodologi pendekatan sejarah/Historis. Kenapa harus
sejarah? Menurut Suparlan :
……berdasarkan sejarah, manusia selalu
mengubah dan mengembangkan sistem pendidikan sesuai dengan tuntutan zaman.
Sejarah mengidekan masa mendatang yang lebih baik dan maju. Sementara itu,
pendidikan menindaklanjuti dengan mengubah dan mengembangkan sistem
pembelajaran untuk mendapatkan keahlian dan ketarampilan yang relevan dengan
kehidupan yang diidekan sejarah itu.
Oleh sebab itu, dalam kaitannya dengan
sejarah, pendidikan adalah suatu sistem bimbingan pemanusiaan untuk masa
mendatang. Artinya, pendidikan dapat dikatakan sebagai sistem peristiwa
‘penyejarahan’ manusia. Pendidikan membuat manusia bisa menyatu dengan sejarah,
mengubah dan mengembangkan dirinya secara terus menerus. Sehingga menjadi
manusia yang semakin bernilai kemanusiaan. Dengan sejarahnya, manusia
memperbaiki pendidikannya.[2]
Dengan melihat sejarah dan masa lalu, diharapkan kita bisa
belajar dan mengkaji lebih dalam lalu kemudian menemukan dan bisa mengembangkan
konsep pendidikan Islam yang tepat untuk menjawab pergolakan zaman dan
modernisitas untuk kemudian bisa diaplikasikan di dunia pendidikan Indonesia. Sehingga
diharapkan mampu melahirkan “Islamic intellectualism".[3]
B.
PEMBAHASAN
1. Historis Pendidikan Islam di Indonesia
a. Periodesasi Pendidikan Islam
Sebelum lebih jauh masuk
pada pembahasan sejarah pendidikan Islam di Indonesia. Penting untuk mengetahui
sejarah munculnya atau periodesasi Pendidikan Islam tentu tidak lepas dengan
munculnya agama Islam itu sendiri.
Adapun periodesasi sejarah
pendidikan Islam menurut Prof. Dr. Harun
Nasution seperti yang dikutip Hasbullah dalam bukunya Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia menjelaskan terbagi kedalam tiga periode, yaitu periode
klasik, pertengahan, dan modern.[4] Selanjutnya Hasbullah menambahkan tahap
perkembangan pendidikan Islam dalam beberapa periode:
1). Periode pembinaan pendidikan Islam, yang
berlangsung pada masa Nabi Muhammad SAW. 2). Periode pertumbuhan pendidikan
Islam, yang berlangsung sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW sampai dengan akhir
kekuasaan bani Umayyah. 3). Periode kejayaan pendidikan Islam, yang berlangsung
sejak permulaan Daulah Abbasiyah sampai dengan jatuhnya kota bagdad. 4). Tahap
kemunduran pendidikan, yang berlangsung sejak jatuhnya kota bagdad sampai
jatuhya mesir oleh napoleon disekitar abad ke-18 M. 5). Tahap pembaharuan
pendidikan Islam, yang berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon di
akhir abad ke-18 M sampai sekarang ini.[5]
b. Sejarah Singkat Masuknya (Pendidikan) Islam di Indonesia
Sidi Ibrahim Boechari,
sebagaimana yang dikutip Hasbullah dalam bukunya menjelaskan sebenarnya sejarah
telah membuktikan bahwa Islam sudah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M.[6]
Sama Seperti yang pernah dikemukakan oleh Prof. Dr. Hamka dalam seminar Masuknya
Agama Islam Ke Indonesia di Medan (1963), beliau mendasarkan teorinya,
teori Makkah, pada fakta yang berasal dari Berita Cina Dinasti Tang yang
menjelaskan bahwa sekitar pada tahun 618-907 M ada pemukiman pedagang arab
Islam di Barat Sumatera.[7] Namun ahli sejarah
yang lain berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia sekitar pada abad ke-13 M.
Adapun
perbedaan-perbedaan itu terbagi menjadi 3 teori: Pertama, teori Gujarat, India. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad
ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur
Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke
nusantara sekitar abad ke-13 M. [8]
Terlepas dari kontroversi
kapan, dimana, dan siapa yang membawa Islam pertama kali ke Indonesia yang
jelas Islam baru mulai meluas pada abad ke-13 M. Ini ditandai dengan berdirinya
kerajaan Islam pertama di Indoneisa, yaitu kerajaan samudra pasai dan perlak.
Adapun corak Pendidikan
Islam sejak masuknya Islam ke Indonesia terus berkembang. Agar mempermudah kita
mencoba membagi dengan beberapa periode perkembangan pendidikan Islam di
Indonesia:
1) Periode
Kerajaan Islam (Sebelum Tahun 1900)
Seperti yang sudah dijelaskan diatas
bahwa Pendidikan Islam mulai meluas pada abad ke-13 melalui istana-istana
kerajaan. Dimuali dari kerajaan pasai di Aceh hingga kerajaan banjar di Banjarmasin.
Corak sistem pendidikan pada Periode ini cendrung mengunakan pendidikan
informal. Pengajaran dan pendidikan disampaikan di langgar, mesjid dan pesantren.
Dimana terdapat seorang guru atau kiai yang menyampaikan pelajaran tersebut
dengan sistem sorogan, atau pengajaran individu/berhadapan cuma antara guru dan
satu murid saja dan sistem halaqoh yakni pengajaran kolektif, guru menyampaikan
pelajaran dan dikelilingi oleh murid/santri.
Namun pada Periode ini juga sebenarnya,
perkembangan sistem pendidikan sudah memperlihatkan kemajuannya. Pada masa
kerajaan Aceh Darussalam misalnya, sudah terdapat lembaga-lembaga Negara yang
membidangi pendidikan dan ilmu pengetahuan. Kerajaan sudah mengunakan jenjang
pendidikan yang sangat berkembang pada masanya dan sudah mengajarkan ilmu-ilmu
umum.
Begitu juga pada kerajaan demak yang
kemudian berpindah ke mataram, sistem pengajaran atau pendidikan Islam dipoles dan
diadaptasi dengan ajaran Hindu dan Kebudayaan Indonesia asli oleh walisongo. Agar
lebih mudah diterima dan dipahami oleh masyarakat setempat. Memang pada Periode
ini system pendidikan Islam di Indonesia cendrung individualistic. Jadi
Perkembangan pendidikan islam diberbagai daerah sangat bervariasi.
2) Periode
Kolonialisme Eropa (Masa Peralihan 1900-1908 & Setelah 1909)
Adapun pada Periode ini corak pendidikan
Islam di Indonesia sangat mengalami perkembangan dan pembaharuan. Salah satu cirinya adalah berdirinya tempat
pendidikan Islam terkenal di Sumatera, seperti Surau Paraek Bukit Tinggai dan
juga lahirnya pemikiran-pemikiran pembaharuan yang pernah menjadi pendidik di
Mesir seperti Syekh Thaher Jalaluddin yang banyak mengemukakan pemikiran
Muhammad Abdul lewat Tulisannya dan juga Syekh Khatib Minangkabau, menjadi
pendidik pemuda-pemuda Indonesia di Mekkah seperti Buya Hamka, KH. Ahmad Dahlan
dan KH. Hasyim Asy’ari, yang kemudian pada tahun setelah 1909 mereka menjadi pembaharu ajaran dan pendidikan
Islam di Indonesia. Seperti KH. Hasyim Asy’ari yang mendirikan Madrasah
Salafiyah di Tebuireng Jombang pada tahun 1919 dan surau pertama yang
mengunakan system kelas yang didirikan oleh Buya Hamka (Syekh Abdul Karim
Amrullah).
Meski pada saat itu peraturan belanda
terhadap perkembangan pendidikan Islam sangat ketat dan keterlalun. Salah satu
contoh dari penindasan keilmuan itu dikeluarkannya peraturan pada tahun 1905
bahwa orang yang memberikan pengajaran atau pengajian agama Islam harus
terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah Belanda. Karena ketakutan yang
begitu dalam atas Islam dan misi kristenisasi serta kolonialisme belanda bukan
saja mengeruk hasil bumi nusantara Indonesia. Tetapi, berbeda dengan penjajah
inggris misalnya yang ikut serta dalam pengembangan keilmuan dan pendidikan
pribumi, penjajah belanda melakukan semacam pembodohan terhadap pribumi. Mereka
mengenyampingan kemajuan pribumi khususnya dalam sektor pendidikan.
3) Periode
Penjajahan Jepang
Berbeda dengan penjajah belanda, jepang
lebih lunak dalam menyikapi pendidikan. Sistem belanda dalam bidang pendidikan
yang memisahkan antara pengajaran barat dan pribumi pada masa ini akhirnya
dileburkan menjadi satu jenis sekolah dengan jenjang pengajaran yaitu : 1). Sekolah
Rakyat 6 tahun, 2). Sekolah Menengah 3 tahun, dan 3). Sekolah Menengah Tinggi 3
tahun. Pada masa ini juga KAU (Kantor Urusan Agama) dikembangkan tugasnya,
terbentuknya Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan juga terbentuknya
Hizbullah.
4) Periode
Kemerdekaan
Pendidakan pasca kemerdekaan mendapat
perhatian serius dari pemerintah. Salah satu terlihat dari pembukaan UUD 1945.
Begitu juga terhadap perkembangan pendidikan Islam. Ghirah umat Islam pada masa
ini menemukan kebebasan semenjak kebijakan kolonialisme belanda yang begitu deskriminatif.
Pada masa ini tidak ada lagi pembatasan pendidikan terhadap perbedaan agama,
sosial, dan ekonomi. Semua anak bangsa berhak untuk mendapatkan pendidikan
terbaik yang diberikan oleh pemerintah. Pendidikan Islam sesuai dengan
keputusan pemerintah RI masuk dalam pembinaan Departemen Agama yang secara
formal institusional. Departemen Agama mengelola pendidikan Agama yang ada
diswasta ataupun negeri yang berada dibawah Departemen Pendidikan Pengajaran
dan Kebudayaan. Sejak itulah terjadi dualisme Pendidikan di Indonesia. Pada
pokok bahasan inilah yang akan kita kaji lebih dalam atas terjadinya dikotomi
ini. Terlebih lagi pendidikan Islam melalui kebijakan pemerintah masih sangat
terlihat dinomor duakan. [9]
2. Fenomena Dikotomis Pendidikan
Dikotomi pendidikan adalah terpisahnya sains agama dan sains
umum baik itu secara kelembagaan, pendidikan formal maupun nonformal. Melirik dan
membaca sejarah kita sudah dapat menyimpulkan bahwa sebenarnya sejak awal pasca
kemerdekaan pemerintah sudah mencoba melakukan pengupayaan integrasi pendidikan
Agama dengan pendidikan Umum. I’tikad dan keinginan ini terlihat jelas dari upaya
pemerintah untuk menghindari terjadinya dualisme dalam pengelolaan pendidikan.[10]
Meskipun pada akhirnya upaya itu mengalami penolakan kaum
muslimin. Pemerintah terus berupaya untuk melakukan pembaharuan pendidikan dengan
melakukan perubahan-perubahan kebijakan. Namun meskipun demikian tetap saja
berimplikasi pada kontroversi dan penolakan dikalangan muslim. Sebagai contoh, keluarnya SKB Tiga menteri tahun 1975, yang
menyatakan ijasah madrasah sederajat dengan ijasah sekolah umum dengan
konsekwensi madrasah mengubah porsi mata pelajaran agama yang tadinya 100 %
menjadi 30 %, yang sisanya menjadi pelajaran umum.[11]
Bagaimanapun upaya pemerintah untuk melakukan integrasi
tersebut, sebagian penelitian kontemporer seperti M. Amin Abdullah melihat
bahwa dikotomi itu masih berlangsung, meskipun beliau mengakui dalam kurun
waktu 1998-2005 ketegangan tersebut semakin berkurang.[12] Seperti yang kita tau
fenomena ketegangan atau tension yang terjadi antara ilmu pengetahuan
dan agama sudah sejak lama terlihat. Dimana kedua disiplin tersebut ibarat dua
jalan yang sudah dijustifikasi oleh masyarakat sebagai dua hal yang tak bisa
dipertemukan. Sehingga lahir frame konseptual agama dengan pemecahan
kongsi dan fungsi serta peranan yang semakin menguatkan perbedaan tersebut.
Seperti halnya, fiqh, hadist dan akidah. Lalu kemudian disiplin ilmu tersebut
di anggap sudah cukup menjadi refresentasi sektor agama yang menyangkut pada
ranah-ranah yang berkorelasi dengan wilayah ketuhanan. Sehingga apapun yang
tereliminasi dari disiplin agama dianggap sebagai disiplin umum.
3. Upaya Penyelesaian Masalah (Dengan Pendekatan Sejarah)
a. Dikotomi Bukan Sumber Masalah
Seperti yang sudah dijelaskan ketegangan yang sudah
berlangsung sejak lama ini berimpilkasi
pada sektor pendekatan struktural-politis. Yakni terpisahnya dua lembaga
pemerintahan, Departemen Agama dan Departemen Pendidikan. Tentu kita harus
terlebih dahulu mengkaji kenapa dikotomi ini bisa terjadi. Melalui pendekatan
sejarah penulis melihat dikotomi pendidikan di Indonesia adalah mutlak sebagai
warisan dari kolonialisme. Dimana kemudian keadaan itu mengakar dan pada
akhirnya mempengaruhi paradigma pemeritah terhadap pengambilan
kebijakan-kebijakan dalam sektor pendidikan pasca kemerdekaan hingga
sekarang. Bahkan menurut sebagian
masyarakat masih banyak pejabat pemerintah yang memandang sebelah mata terhadap
pendidikan Islam dan lebih-lebih juga banyak kepentingan-kepentingan individu
maupun kelompok yang bercongkol didalamnya. Sehingga permasalahan pendidikan
kontemporer sekarang ini harus berhadapan dengan adanya persoalan politis
antara para pemegang kekuasaan.
Penting untuk diketahui bahwa, menurut saya, kita terlebih
dahulu harus melihat dan melakukan pemahaman tentang dualisme pendidikan
“ilmu-ilmu agama” (al-‘umum al-diniyyah atau religious sciences) dengan
“ilmu-ilmu umum” (general sciences) di Indonesia ini sebagai sebuah kecelakaan
sejarah “historical accident” yang harus dipahami sebagai imbas politis masa
lalu. Kesadaran kolektif ini perlu, sebagai dasar kajian untuk menemukan solusi
terbaik terhadap permasalah ini. Sebagaimana yang disampaikan Suparlan bahwa
dengan sejarahnya, manusia memperbaiki pendidikannya.
Oleh karena itu mari kita
kembali melirik sejarah panjang perjalanan pendidikan bangsa ini. Kita mencoba
memahami dan mengkaji permasalahan pendidikan bangsa ini dengan tidak hanya melihatnya
dari sudut pandang saja. Namun, serta merta kita mencoba mengkajinya dengan
sudut lain. Pihak pemerintah misalnya, tidak pernah sekalipun bermaksud untuk
melakukan pembiaran terhadap fenomena dikotomis ini, meskipun pada awalnya
memang dikotomis ini sebenarnya diciptakan oleh pemerintah itu sendiri yang
saya kira itu masih dalam masa transisi dalam menyikapi pengaruh feodalisme
kolonial terhadap pendidikan. Namun, atas alasan yang mendasar, untuk dan demi
pengembangan pendidikan secara konprehensif dalam menghadapi tuntutan modern
pemerintah terus berusaha melakukan integrasi keilmuan tersebut. Pemerintah
sadar bahwa agama adalah hal yang penting sebagai landasan hidup dalam bebangsa
dan bernegara. Sejak kemerekaan pemerintah sudah memperlihatkan keseriusannya
dalam mencari jalan keluar atas permasalahan ini. Modernisasi pendidikan Islam,
dengan tujuan memperkecil ketertinggalan pendidikan umum modern, terus
dilakukan pemerintah dengan berulang-ulang mencoba menemukan dan mempersatukan
pendidikan Indonesia. Upaya ini patut dan layak kita apresiasi meskipun dalam
perjalanannya terus menuai kritik. Namun,
lagi-lagi kritik itu sangat dibutuhkan. Sehingga fenomena hari ini upaya
integrasi tersebut, kita akui atau tidak, sudah memperlihatkan titik terang. [13]
Dilain pihak, banyak para pemikir Islam dan pembaharu Islam di
Indonesia maupun pembaharu islam internasional yang menyajikan pemikirannya
untuk menawarkan upaya penyelesaian dikotomis ini. Seperti misalnya, ide
“Inter-koneksitas” yang disajikan oleh M. Amin Abdullah dalam bukunya Islamic
Studies Di Perguruan Tinggi; Pendekatan Integratif-Interkonektif, beliau mencoba menawarkan ide tersebut sebagai satu
solusi yang diharapkan mampu mengurangi ketegangan yang terjadi antara
“normativitas” dan historisitas” yang beragam didalam berbagai Perguruan Tinggi
Agama Islam di Indonesia. Beliau, melalui paradigma keilmuan-nya dalam analisis
problem tersebut mencoba menyajikan dan menawarkan paradigma tersebut, yang
menurutnya lebih produktif dalam penyelesaian kompleksitas yang terjadi.
Upaya-upaya itu sudah cukup berpengaruh untuk kajian-kajian
keislaman dalam mencapai dan menjawab dilema pendidikan Indonesia kontemporer .
Penulis menilai semua upaya itu secara epistemologi sudah sangat “mengiurkan”
untuk dikonsumsi. Namun, mereka cendrung melupakan kajian dengan pendekatan
sejarah. Meskipun ada, itu hanya berorientasi pada kajian sejarah pada wilayah
historisitas ilmu-ilmu ke-Islaman saja, tidak melakukan kajian dengan
pendekatan sejarah Indonesia. Dimana hal tersebut disini menjadi perhatian
utama penulis dengan melihat bagaimana permasalahan itu semua dengan melirik
sejarah pendidikan islam Indonesia. Lebih-lebih kita sekarang bicara dikotomi
pendidikan di Indonesia.
b. Solusi
Jika intergrasi itu sudah terlihat dan dirasakan. Lalu
bagaimana dengan fenomena wajah pendidikan Indonesia dan tingkah laku anak
didik yang memprihatinkan sebagaimana sudah kita jelaskan di permulaan. Penulis
melihat bahwa sebenarnya sumber masalah terjadinya fenomena kualitas pendidikan
yang kurang baik bahkan secara SDM-nya buruk itu bukanlah serta merta
diakibatkan oleh dikotomis pendidikan di Indonesia. Sebab, saya melihat Upaya
integrasi dikotomi pendidikan sudah maksimal dilakukan oleh pemerintah melalui
kebijakan-kebijakan dengan basis tujuan modernisasi pendidikan. Begitu juga
para pemikir dan pembaharu pendidikan Islam Indonesia, mereka juga sudah banyak
melakukan kajian epistemology dengan aneka ide kritis mereka.
Tetapi penulis melihat
masalahnya bersumber pada beberapa hal:
1) Masih
terjadinya “communication gap” antara sesama intelektual/pemikir Muslim maupun.[14] Para pemikir atau
intelektual muslim klasik dan modern masih susah disatukan dalam memandang hal
ini. Masih banyak pemikir dan tokoh islam yang menaruh curiga dan apatis
terhadap paham modernisasi pendidikan. Tentu sikap itu lahir justru dikarenakan
para pemikir ide modernisasi belum mampu sepenunya mendekati para tokoh-tokoh
klasik.
2) Begitu
juga yang terjadi antara intelektual Islam dengan pemerintah. Pemerintah
cendrung terlihat masih diskriminatif terhadap pendidikan Islam. Meski
posisinya sudah terintegrasi dengan sistem pendidikan nasional, tetapi pada
perolehan anggaran pembiyaan hak sekolah-sekolah jauh lebih rendah ketimbang
anggaran yang diberikan kepada sekolah yang dibawahi Departemen Pendidikan.
Ditambah problematik anggaran pendidikan sesuai Undang-Undang yang belum
maksimal direalisasikan. Begitu juga dengan kurikulum pendidikan yang terus berganti
secara politis setiap kabinet berganti. Apa yang disajikan pemerintah seperti
yang pernah disampaikan oleh Ahmad Syafii Maarif
bahwa pendidikan yang diselenggarakan tidak lagi
mengacu kepada dan mengantisipasi zaman yang sedang berubah dan bergulir.
Tentu saya melihat dua hal inilah yang
menjadi perhatian serius oleh intelektual klasik maupun modern dan juga
pemerintah. Hal Inilah yang saya lihat luput dari perhatian kita bersama. Upaya-upaya
pembaharuan yang ditawarkan oleh banyak pembaharu Islam di Indonesia seperti
sekularisasri, Islamisasi atau Modernisasi akan menemukan titik kesulitan
aplikatif jika sumber permasalah tidak mendapat titik temu. Orang-orang yang
berada di Kementrian Agama sebagai refresentatif dari intelektual muslim saya
kira masih kurang mampu meyakinkan pemerintah terhadap formulasi pendidikan
yang ditawakan para pembaharu muslim saat ini. Posisi politis itu, lagi-lagi,
menghambat idealisme mereka dalam menawarkan dan menyajikan konsepsi pendidikan
Islam yang diinginkan. Sehingga keberanian intelektual Musliam yang fazrul
Rahan tawarkan harus diangkat kepermukaan. Hanya dengan mempertemukan pandangan
antara intelektual muslim dan pemerintah selaku pemangku kebijakan yang akan
menjadi bola salju untuk memecah kebuntuan dan dilema dikotomi pendidikan
tersebut. Jika diktomi ini terus terjadi, maka kita tidak hanya akan berada
pada peringkat 110 tapi bisa lebih rendah dari itu.
C.
KESIMPULAN
Islam sebenarnya tak pernah mengenal dikotomi. Pada masa
kejayaannya, pendidikan islam menguasai dan mewarnai dunai Islam dengan
bermunculannya disiplin ilmu yang integrated. Namun, di Indonesia pasca
kemerdekaan dan dikarenakan factor politis pendidik islam mengalami
dikotomisasi. Sekarang pemerintah memang terus berusaha melakukan “interkonektif”
tersebut. Melakukan modernisasi pendidikan agar bisa terus mengikuti
perkembangan modern. Begitu jua para pemikir atau intelektual muslim juga terus
berupaya menemukan dan mengajukan ide-ide untuk menyelesaikan permasalahan
pendidikan bangsa ini. Kemerosotan akhlak anak didik, perilaku anarkis dan jauh
dari budaya Indonesia dan Islam sebagai agama terbesar di Indonesia, diperkirakan
akibat dikotomi tersebut.
Tetapi penulis melihat bahwa dikotomi itu bukanlah sebab yang
sebenarnya, sebab diktomi pendidikan tersebut sudah perlahan terintegrasi oleh
kebijakan pemerintah yang yang terus melakukan perbaikan-perbaikan. Ditambah
lagi upaya para intelektual muslim yang terus juga berusaha menawarkan format
pendidikan yang tepat. Terlihat banyaknya lahir dan muncul
Universitas-universitas Islam dibanyak bagian di Indonesia. Ini sudah merupakan
cukup bukti bahwa pendidikan islam sudah mengalami perkembangan seiring
berkembangnya zaman.
Namun, justru yang menjadi semua itu masih belum maksimal
adalah terjadinya “communication gap” antara sesame intelektual muslim klasik
dan modern dan juga dengan pemerintah. Ditambah lagi pemerintah yang masih
setengah hati dan terkesan deskriminatif terhadap pendidikan islam.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme
Teosentris, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi,
Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia; Lintasan
Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1995.
http://www.anneahira.com/skripsi-sejarah.htm
http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia
Jabali, Fuad & Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam
di Indonesia, Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 2002.
Rahman,Fazrul, Islam and Modernity: Transformation of
An Intellectual Tradition, Chicago & London: The University of Chicago
Press, 1982.
Suhartono, Suparlan, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta :
Ar-Ruzz Media, 2007.
Wahib, Ahmad, Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian
Ahmad Wahib (Jakarta : LP3ES Indonesia, 2003)
[2] Ibid, hal. 110
[3] Fazrul Rahman, Islam and Modernity: Transformation of An
Intellectual Tradition (Chicago & London: The University of Chicago
Press, 1982), hal.1 Ini adalah sebutan yang menurut Rahman sebagai “essence of higher Islamic education”.
[4] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia; Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995) hal.
15. Pembagian Prof. Dr. Harun Nasution ini dikutip Hasbullah dalam buku Pembaharuan
Dalam Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1991) hal.11.
[5] Ibid.,hal.16
[6] Ibid.,hal.17
[7] http://www.anneahira.com/skripsi-sejarah.htm
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia
[9] Lebih lanjut tentang sejarah ini dapat ikuti dalam
buku penulis Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia; Lintasan Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1995)
[10] Fuad Jabali & Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia
(Ciputat : Logos Wacana Ilmu, 2002), hal. 70
[11] Ibid, hal. 71-72
[12] Amin Abdullah, Islamic Studies Di Perguruan Tinggi (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2012)
[13] Upaya-upaya pemerintah ini dapat
dilihat lebih lanjut di Fuad Jabali
& Jamhari, IAIN & Modernisasi Islam di Indonesia (Ciputat : Logos
Wacana Ilmu, 2002), hal. 119-127
[14] Istilah ini penulis pinjam dari dari Ahmad Wahib
dalam bukunya Pergolakan Pemikiran Islam; Catatan Harian Ahmad Wahib
(Jakarta : LP3ES Indonesia, 2003).” Communication Gap” yang penulis maksud
adalah adanya celah serta jurang pemisah komunikasi yang begitu jauh dan susah
untuk dipertemukan dan cendrung apatis satu sama lain.