Thursday, April 30, 2015

KEMBALI MENJADI HMI



 

Himpunan Mahasiswa Islam atau HMI merupakan sebuah organisasi yang bisa dibilang cukup popular di kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa aktivis. HMI memiliki sejarah panjang sejak awal-awal kemerdekaan Indonesia. 58 Tahun yang lalu, sejak masuk secara resmi pada tahun 1957 di Kalimantan melalui Banjarmasin, HMI sudah banyak menelurkan  kader-kader yang berkualitas di Kalimantan. Banyak kader-kader HMI yang menempati posisi-posisi penting seperti di bidang politik, akademik, entrepreneurship dan di bidang lainnya. Sebagai generasi yang lahir belakangan, sekarang nampaknya kader HMI seperti sedang mengidap penyakit amnesia sejarah. Penyakit yang bisa melemahkan sendi-sendi berorganisasi. Kita hampir tidak belajar banyak terhadap kesuksesan dan keberhasilan generasi sebelum kita. Justru meskipun bicara sejarah, cendrung kita hanya menggingat dan bernostalgia tanpa mengambil pelajaran dari masa lalu.
Namun yang paling penting, meski mengingat sejarah merupakan suatu upaya yang harus dilakukan. Kita juga harus cerdas memilih dan memilah yang mana yang harus dijadikan “kiblat” organisasi dan mana yang tidak untuk diteladani. Meskipun begitu, nostalgia sejarah harusnya tidak menjadikan kita terus terbuai sehingga membuat kita lupa dengan fakta masa kini. Salah satunya adalah dengan cara terus melakukan evaluasi dan introspeksi terhadap fenemona-fenomena elementer yang terjadi di pelataran HMI sekarang.
Bolehlah kita bertanya, bagaimana kondisi HMI (kader) sekarang? Bagaimana gerakan HMI di zaman yang semakin kompleks ini? Masih kuatkah posisi HMI di kalangan mahasiswa dan masyarakat? Pertanyaan sederhana ini nampaknya juga berlaku untuk dilontarkan kepada kader-kader HMI di Kalimantan Selatan. Anggaplah itu semacam pertanyaan sederhana orang yang tidak mengetahui betul sejauh mana keberadaan HMI saat ini. Yah, paling tidak ini masih jauh lebih ringan dibanding ucapan maestro HMI, Cak Nur, yang menyentak dengan menyebutkan bahwa HMI sudah selayaknya membubarkan diri karena dianggap tugas sejarahnya sudah selesai. 
Meminjam teori kritisisme bahwa dalam tradisi ilmu pengetahuan, ia selalu memiliki sifat yang berkembang. Secara sederhana, kritisisme adalah tindakan mengkritik yang lama dan membangun yang baru. Dalam konteks organisasi, budaya organisasi yang telah lama mengakar, yang dianggap sudah tidak mampu menjalankan peranan dan fungsinya secara total maka ia patut digeser dan digantikan dengan budaya dan perspektif baru yang lebih mampu dan memiliki hasil yang jauh lebih unggul dan lebih utuh.
Diantara ciri yang melekat pada kaum intelektual adalah bersedia di tegur dan siap menghadapi kritik. Meminjam apa yang pernah di sampaikan salah satu senior HMI, Anas Urbaningrum, bahwa kritik itu dapat dipahami dalam dua aspek. Pertama, kritik dianggap sebagai bentuk harapan atau paling tidak sebagai care (kepedulian) dari sang pengkritik. Bisa juga yang kedua sebagai social capital yang diharapkan mampu menjadi peransang perbaikan internal (internal correction).  

Kondisi Kader HMI Kalimantan Selatan
Setiap orang tentu memiliki penilaian berbeda terhadap sesuatu. Namun jika penilaian itu sudah menjadi penilain kolektif dan mayoritas, maka penilaian tersebut sudah harus patut diperhitungkan dan dijadikan bahan introspeksi. Sekarang ini, meski mungkin saya tidak bisa menjelaskan secara statistik atau bahkan tidak didasari penelitian ilmiah. Namun jika kita mau sedikit saja lebih jujur melakukan perbandingkan antara HMI dulu dan HMI sekarang, tentu kita akan mengakui bahwa HMI hari ini, khususnya HMI Kalimantan Selatan, sudah banyak mengalami kemunduran. Baik itu dalam konteks kajian keilmuan, kajian keislaman, budaya diskusi, budaya membaca, budaya menulis apalagi terlibat dalam membangun bangsa dan daerah ini.
Bagaimana mungkin HMI bercita-cita menjadikan daerah ini berkembang dan maju. Sedangkan kadernya malas membaca, malas diskusi dan malas belajar. Bukankah HMI adalah organisasi mahasiswa? Tentu sebagai oraganisasi yang memiliki basis domain di kalangan mahasiswa, harusnya intelektualitas mahasiswa itu juga melekat di dalam tubuh kader dan organisasi tersebut. Mestinya iklim ilmiah dan forum diskusi lebih banyak porsinya ketimbang forum-forum nir-intelektual. Jika dulu orang tertarik masuk dan menjadi kader HMI karena HMI intens melakukan kajian-kajian yang bersifat ilmiah. Lalu sekarang apa daya tarik dan daya tawar (bargaining position) yang dimiliki oleh HMI?
Krisis internal di dalam tubuh HMI ini berakibat pada turunnya minat kepercayaan mahasiswa untuk masuk dan menjadi kader HMI. Animo mahasiswa terhadap HMI saat ini terlihat sangat kurang. Saya khawatir HMI hanya akan menjadi alat oknum yang ingin mendompleng nama HMI lalu menjadikan HMI sebagai kendaraan politik saja, yang belakangan saya lihat akar-akar ini sudah mulai muncul. Sehingga jangan heran jika suatu saat menemukaan kader yang memiliki motivasi masuk HMI karena ingin menjadi ketua BEM atau ketua Senat, misalnya. Bercita-cita menjadi ketua BEM/Senat itu sama sekali tidak salah. Kader sah menjadi apa saja yang dia inginkan, dan HMI saat itu memang harus hadir sebagai motivator dan mengakomodasi keinginan kader. Namun itu saja tidak cukup, itu bukanlah tujuan akhir ber-HMI. Sebab tujuan HMI sebenarnya adalah apa yang tertuang di dalam konstitusi (Visi dan Misi) HMI itu sendiri. Terbinanya Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam dan Bertanggungjawab atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang di Ridhai Oleh Allah SWT.
Siapa yang bertanggungjawab atas fenomena organisasi yang terjadi hari ini? Kini bukanlah saatnya mencari siapa yang salah dan siapa yang bertanggungjawab. Kader-kader (muda ataupun biasa) bahkan Alumni (KAHMI) harus mengambil bagian dalam perbaikan dan pembenahan organisasi yang kita cintai ini.             

Student Need, Student Interest
Student Need dan Student Interest adalah diskusi panjang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keperluan mendasar mahasiswa. Harusnya poin inilah yang menjadi fokus perhatian HMI. Kader-kader HMI sudah saatnya mengambil alih posisi strategis dan vital di setiap lini dan ruang kegiatan kemahasiswaan. Tidak hanya diartikan dalam konteks posisi politis, namun yang jauh lebih penting adalah di dalam konteks akademis dan ke-Islaman. Boleh ditanya, secara sederhana, seberapa kuat kiprah aktivis HMI di dalam diskusi-diskusi ruang kuliah saat ini? Sudahkah mereka menjadi sosok role model yang memberikan stimulus positif terhadap mahasiswa lain? Sudahkah mereka menjadi mercusuar gerakan mahasiswa di kampus-kampus dan daerah? Sehingga jika demikian hasil yang sudah di raih maka HMI akan memiliki  brand image atau identity yang dianggap mampu memberikan value added (nilai tambah) kepada mahasiswa lain.   
Bukankah organisasi merupakan alat yang terlahir dari refleksi kebutuhan manusia-manusia yang memiliki keinginan namun tidak mampu merealisasikan secara sendiri-sendiri. Oleh sebab itulah kenapa student need dan student interest harus menjadi perhatian penting HMI. Maka jika ada kader yang menginginkan atau memiliki ekspektasi tinggi terhadap organisasi ini, itu merupakan hal yang sangat wajar. Disana lah akan terlihat bahwa HMI memang menjadi salah satu  wadah yang dibutuhkan oleh mahasiswa, dan tugas HMI adalah membantu merealisasikannya.

Re-interpretasi Visi dan Misi HMI
Visi dan Misi HMI yang tertuang dengan jelas tersebut merupakan janji-janji kader yang terus dilafazkan dalam setiap kesempatan kegiatan formal maupun nonformal HMI. Janji-janji tersebut tentu menjadi satu ikrar yang sakral dan sudah seharusnya mampu diwujudkan dalam segala bentuk tingkah-laku kader-kader HMI. Sebagai organisasi kemahasiswaan yang memiliki nilai (Value) yang besar dan mulia, menawarkan pengetahuan (Knowledge) dan memberikan kemampuan/ketrampilan (Skills). Tentu semua itu akan menjadi nilai tambah (value added) bagi organisasi ini.
Namun, pada kenyataannya kualitas tersebut masih menjadi semacam mitos di tubuh HMI Kalimantan Selatan. Semakin hari eksistensi dan peranan HMI semakin memudar, meski tidak bisa juga disebut hilang. Oleh karena itu perlu untuk melakukan rekonstruksi atau reinterpretasi terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam visi dan misi tersebut. Setidaknya ada tiga aspek yang bisa saya lihat dalam bahasan ini.
Pertama, Knowledge Production. Ini merupakan sebuah paradigma penting dalam upaya melakukan re-interpretasi terhadap Visi dan Misi HMI . Sebab, tugas “Insan Akademis dan Pencipta” yang dimaksud dalam visi HMI adalah mampu memproduksi keilmuan-keilmuan baru atau memperluas cakupan-cakupan serta kajian-kajian keilmuan yang sudah terbentuk. Pengetahuan atau ilmu bukan sebuah konstruksi yang permanen, dia bersifat dinamis. Sehingga ia perlu diperbaharui sesuai dengan kebutuhan zaman. Diantara yang dapat dilakukan adalah dengan menghidupkan dan melakukan semangat penelitian. Dengan melakukan penelitian maka HMI akan mampu memproduksi pengetahuan/ilmu, yang pada akhirnya memberikan result sebagai bentuk solusi dari banyaknya permasalahan di masyarakat.  
Kedua, Knowledge Mobilization. Komponen ini merupakan lanjutan dari proses memproduksi pengetahuan. Proses ini sebagai bentuk upaya HMI dalam menyebarkan pengetahuan/keilmuan (share knowledge) yang telah dihasilkan, bisa berbentuk pendidikan, pelatihan atau diskusi. Ini juga merupakan bentuk dari interpretasi visi “Insan Akademis”. Sehingga pengetahuan atau hasil penelitain tidak hanya berakhir dalam bentuk buku-buku yang menghiasi rak-rak perpustakaan. Namun juga disampaikan dan diajarkan demi terwujudnya pemerataan pengetahuan dikalangan kader HMI dan juga masyarakat pada umumnya.     
Ketiga, Community Mobilization. Menciptakan, memproduksi, memperluas pengetahuan secara teoritis dan melakukan kajian-kajiannya dalam forum-forum diskusi tidaklah cukup. “Insan Pengabdi” mestinya mengharuskan kader untuk lebih impelementatif terhadap keilmuan yang sudah didapat. Keharusan untuk memobilisasi kebutuhan masyarakat adalah kewajiban yang tak dapat dihindari oleh kader HMI. Sebab dengan melakukan pengabdian, kader baru bisa dan layak di sebut sebagai kader yang betul-betul unggul dan berkualitas seperti yang dijanjikan oleh Himpunan Mahasiswa Islam.  
HMI tidak menginginkan kadernya hanya mampu berwacana namun lemah dalam aksi lapangan. “HMI untuk Rakyat” seperti yang terus disampaikan oleh Ketum PB HMI dalam setiap kesempatan, menurut saya, sudah cukup menjadi kabar gembira buat kita. Tidak berlebihan jika Jenderal Soedirman pernah mengemukakan bahwa HMI adalah “Harapan Masyarakat Indonesia”. Sebab peran dan fungsi kader HMI sebagai generasi akademis yang Islami memang menjadi harapan Bangsa dan Masyarakat Indonesia untuk melakukan perbaikan terhadap keadaan bangsa Indonesia. Jika ini mampu kita hidupkan, maka HMI akan menjadi kiblat gerakan mahasiswa khususnya di Kalimantan Selatan. 
Mungkin apa yang saya lihat ini hanyalah segelintir masalah internal di dalam tubuh HMI. Tentu jika kita mau lebih jujur lagi melihat organisasi yang sama-sama kita cintai ini, akan banyak sekali potensi-potensi virus yang harus segera kita basmi dan tuntaskan. Jika kita mencintai organisasi ini, tentu sudah selayaknya lah kita rawat baik-baik. Bila ada goresan yang membuatnya tidak seksi lagi, tidak ada cara lain selain kita dandani dan make over agar kembali terlihat cantik. Mari kita kembali ber-HMI, dengan sebenar-benarnya HMI. Wallahu A’lam.
Banjarmasin, 28 April 2015

0 comments:

Post a Comment

Powered by Blogger.

Text Widget

Followers