DIALEKTIKA PERADABAN DAN KONSEP PEMERINTAHAN ISLAM
DIALEKTIKA PERADABAN DAN
KONSEP PEMERINTAHAN ISLAM DENGAN CARA DEKONSTRUKSI EPISTEMOLOGI ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
Allah SWT telah
menurunkan risalah Islam. Dimana Dia menjadikan risalah tersebut berdiri diatas
landasan akidah tauhid, yaitu akidah la Ilaha Illa Allah, Muhammadur
Rasulullah.
Islam merupakan risalah
yang universal, yang mengatur seluruh manusia. Ia juga mengatur seluruh masalah
kehidupan, serta seluruh hubungan antara kehidupan itu dengan sesuatu yang ada
dan sesudah kehidupan. Ia juga memecahkan seluruh masalah manusia, sebagai
manusia (yang memiliki kebutuhan jasmani, naluri dan akal). Juga mengatur
interaksi manusia---secara vertical---dengan penciptannya, dan secara diagonal---dengan
dirinya, serta--- secara horizontal---denagn sesame manusia, disetiap waktu dan
tempat.
Islam juga menyelasaikan
hubungan antara Allah, sebagai sang pencipta, dengan alam. Manusia dan
kehidupan,, dari aspek penciptaan dan pengaturan, penghidupan dan pembinasaan,
petunjukan dan kesesatan, termasuk aspek rezki dan pertolongan. Serta
aspek-aspek lain yang menjadi sifat-sifat Allah SWT. Baik yang bersifat kuasa,
pengatur, pengendali, mengetahui segala hal yang meliputi seluruh makhluk,
maupun sifat iradah yang mleiputi segala kemungkinan.
Islam juga telah memecahkan
maslah interaksi antara antara manusia besserta kehidupan tersebut dengan Allah
sbagai sang khaliq, dengan disertai keharusan beribadah dan menyembah kepadanya
semata-mata dan tidak menyekutukannya.dengan sesuatu apapun. Disamping itu
Islam juga wajib menjadikan hanya Muhammad sebagai utusan Allah yang wajib
diikuti ajaran-ajarannya.Islam memang membawa corak pemikiran yang khas, dimana
dengan pemikiran-pemikiran itu ia bisa melahirkan sebuah peradaban yang lain
dan beda sama-skali dengan peredaban-peradaban manapun. Dengan
pemikiran-pemikiran itu pula, ia mampu melahirkan kumpulan konsepsi kehidupan.
Serta pemikiran-pemikiran itu juga menjadikan benak penganutnya telah mendarah
daging dengan corak peradaban tersebut. Pemikiran-pemikiran tersebut juga telah
melahirkan pandangan hidup tertentu, yaitu pandangan hala dan harambeserta
sebuah tuntunan hidupnya yang khas.
Begitu pula Islam juga
telah membawa aturan paripurna, yang bersangkutan dengan berbagai problem
interaksi didalam negara dan masyrakat, baik dalam maslah pemerintahan ,
ekonomi, sosial, pendidikan maupun politik, baik yang menyangkut interaksi yang
bersangkut umum, antara negara dengan anggota masyarakat.
BAB II
Dialektika Peradaban Dan
Konsep Pemerintahan Islam Dengan Cara Dekonstruksi Epistemologi Islam
Terma agama dan terma
kebudayaan memang sangat popular. Agama telah berusia ribuan tahun dan
kebudayaan walaupun istilahnya baru muncul pada akhir abad
ke- XIX namun usianya sudah jauh lebuh lama. Kendatipun
demikian, sampai kini belum ada satu definisi baik tentang agama maupun tentang
kebudayaan yang disepakati oleh semua orang.definisi-definisi yang diberikan
sangat beragam, tergantung pada minat dan keahlian orang yang merumuskannya.
Ada yang berpendapat bahwa agama adalah bagian dari kebudayaan.[1]
Melihat beragamnya definisi
dan pendapat tentang agama dan kebudayaan menjadi sebuah petunjuk bagaimana
rumitnya kedua masalah ini. Karena itu ada orang yang mengatakan bahwa masalah
agama dan kebudayaan sangat peka dalam kajian sosiologi dan politik.
Peradaban kita, peradaban
Islam, telah memainkan peranan penting dalam sejarah kemajuan manusia dan
meninggalkan tapaknya baik dalam akidah, Ilmu, hukum, filsafat, seni, sastra,
dan lain sebagainya yang jauh cakupannya dan kuat pengaruhnya terhadap hasil
yang dicapai oleh peradaban modern.
Adapun peninggalan- peninggalan abadi peradaban Islam secara garis
besar ada lima bidang:
- Bidang
Akidah Dan Agama
- Bidang
Filsafat dan Ilmu
- Bidang
Bahasa Sastra
- Bidang
Perundang-Perundangan
- Pengertian
Negara Dan Hubungan Rakyat Dengan Pemerintah (Politik).[2]
Menurut Fahmi Amhar bahwa
Persoalan pelik yang melanda Dunia Islam seperti kebodohan, kemiskinan, dan
keterbelakangan, adalah terjadi karena dua faktor: internal dan eksternal.[3] Kelemahan pada faktor internal hanya dapat diatasi
oleh umat Islam sendiri, dengan ajaran Islam sebagai obatnya, dan para pemimpin
umat sebagai dokternya. Sebaliknya, faktor eksternal berasal dari musuh-musuh
Islam, yang sejak zaman Nabi Saw memang ingin menghancurkan Islam. Tujuan dari
penghancuran Islam adalah demi melestarikan kekuasaan, dominasi pandangan,
serta cara hidup mereka.
Target Penghancuran Islam
secara umum target penghancuran Islam terdiri dari tiga hal: akidah, syariat,
dan Islam politik.
1) Pendangkalan akidah Islam
Akidah Islam didangkalkan
dengan cara-cara yang bervariasi, sebagian cukup canggih, sehingga tidak banyak
orang yang menyadarinya. Berikut ini adalah sebagian cara itu:
a. Dogmatisasi akidah Islam
b. Manipulasi akidah Islam
c. Substitusi akidah Islam
2) Substitusi akidah Islam
Ketika pendangkalan akidah
terjadi pada tingkat individu, maka penghancuran syariat terjadi secara lebih
massal.
a. Tidak diterapkannya syariat adalah kampanye negatif yang paling
efisien
b. Pendidikan yang dikotomis[/i]
c. Stigma Negataif dan Penafsiran Ulang
3. Peminggiran Islam Politik
Setelah akidah didangkalkan
dan syariat dihancurkan, maka peminggiran Islam politik adalah langkah yang
relatif mudah. Hal ini karena aktivitas politik dari banyak kelompok Islam juga
sudah tidak lagi dilandasi dan diikat oleh akidah Islam semata-mata, namun
tercampur dengan nasionalisme dan semangat golongan (‘ashabiyah) atau mazhab
tertentu. Gerakan politik Islam menjadi tidak banyak bedanya dengan gerakan
politik lain —dari Kristen, misalnya. Karena itu, Islam politik sering dianggap
kelompok sektarian yang hanya memikirkan pemeluk agamanya saja.
Karena landasan dan
ikatannya bukan dari akidah Islam semata-mata, Islam politik ini mudah terbawa
arus kepentingan pragmatis dari para tokohnya. Para tokohnya juga cukup
mengandalkan karisma dan ikatan primordial, belum mencerminkan sosok dengan
‘aqliyyah (pola pikir) dan nafsiyyah (pola jiwa) Islam yang kental.
Karenanya, tidak aneh jika
Islam politik ini mudah diadu-domba, mudah pecah, dan mudah berubah tatkala
suatu agenda politik pragmatisnya tidak tercapai. Citra dari para tokoh Islam
politik jadi tidak bagus di mata umat. Hasilnya secara umum, umat Islam kecewa
dengan Islam politik, dan beralih pada politik yang berhaluan non-sektarian,
yang notabene adalah politik sekular.
Kalaupun kemudian muncul
Islam politik yang sahih, maka dilakukan langkah-langkah isolasi, seperti
dibatasi ruang geraknya dengan undang-undang parpol atau ormas, atau dibuat
rekayasa agar Islam politik ini hancur citranya —misalnya dengan memancing
anggota atau simpatisannya agar terlibat dalam perbuatan melawan hukum, seperti
aksi kekerasan atau teror.
A. SEKITAR PERMASALAHAN POLITIK ISLAM
Sebagaimana yang kita
ketahui politik merupakan suatu permasalahan yang menjadi “perdebatan besar”
yang terjadi dikalangan kaum muslimin.
Seperti realita yang terjadi sekarang ini, bagi sarjana Islam
maupun bukan permaslahan tentang politik nampaknya menjadi
problem-problem yang serius. Bagi orang Islam yang mempelajari bidang ini,
keadaannya semakin sulit karena mempelajarinya dibawah bayang-bayang empat
batasan yaitu Al-Quran, Hadist, fiqih dan riwayat. Banyak ulama menganggap
keempat referen ini yang membentuk fondasi literature politik Islam, sebagai
sandaran yang suci dan tak dapat dihindari. Sekarang pun sering kita temukan
kaum muslimin mencemohkan seorang ulama lain hanya karena menolak sebuah hadis
yang dirawi oleh seseorang yang selama ini dianggap otoritas. Dikalangan
tertentu malah menolak sesuatu ketentuan fikih yang ditulis oleh ulama abad
ke-15 atau hanya merupakan rijal telah dianggap sesat.
Padahal apabila diteliti
secara cermat pada masa seribu empat ratus tahun terakhir sejarah Islam, telah
terjadi penemuan-penemuan hasilnya baik dan adakalanya buruk. Disamping itu,
masa kemunduran Islam sesudah masa seribu tahun pertama yang cemerlang,
berlarut-larut dan menyengsarakan. Para ulama berpendapat bahwa sebaiknya
memepertahankan syariah dengan menyatakan bahwa ijtihad tidak diperlakukan
lagi. Secara moral mereka merasa aman berada dalam keterperincilan, jauh dari
politik kotor pemerintahan. Mereka berusaha mengamankan syariah dengan
mengisolasinya dengan harapan bahwa syariah akan diterapkan oleh
penguasa-penguasa yang baik pada masa suatu kelak.[4]
Demikianlah dalam masa
klasik dan abad pertenghan Islam tidak ada ulama yang mempersoalkan apakah
Islam mempunyai konsep negara atau tidak. Tetapi bagaimanapun mereka telah
berbuat, artinya sejumlah orang muslim telah mendirikan negara dan mengadopsi
hukun-hukum Allah yang ditafsirkan dari Al-Qur’an dan hadis Nabi. Bahkan semua
sepakat bahwa Nabi Muhammad ketika hijrah ke Madinah telah mendirikan
negara.
Demikian juga beberapa
ulama telah menulis mengenai teori-teori kenegaraan sejauh pemahaman yang
dimilikinya dan sesuai dengan perkembangan peradaban ketika itu. Kenyataanya
penulis-penulis teori kenegaraan ketika itu selalu dihubungkan dengan ajaran
agama baik ajaran tauhid , fikih, maupun akhlak. Seperti juga telah dilihat
dari sejarah dimasa klasik pasca khulafur al-Rasyidin dan masa pertengahan
tidak ada yang memberikan alternatif bentuk pemerintahan selain bentuk monarki.
B. KONTROVERSI DIKALANGAN PEMIKIR-PEMIKIR ISLAM TENTANG
PEMERINTAHAN ISLAM
Dimasa kontemporer ini ada
terlihat kecendrungan para pakar Islam menyangkut negara. Tampaknya perbedaan
pendapat ini dilatarbelakangi oleh pengaruh hegemoni barat untuk beberapa
dasawarsa di dunia Islam. Dalam menghadapi kenyatan ini timbul tiga golongan
pemikir sesuai dengan cara mereka merespon dengan kehadiran barat yang serba
maju.
Golongan pertama tidak mau
mengakui kelebihan barat dan menolak barat dengan penuh apriori sehingga mereka
menolak semua apa saja tyang dibawa oleh barat. Dengan demikian apa saja
kebutuhan umat harus dilihat dalam ajaran agamanya sendiri. Golongan kedua
kagum denang kehebatan Barat sehingga kehilangan kepercayaan terhadap agamanya
sendiri. Mereka sering mengadopsi sesuatu yang datang dari barat tanpa melihat
ada tidaknya sebenarnya ajaran itu dalam agamanya sendiri. Golongan ketiga
mengakui kelebihan Barat dalam hal-hal tetentu dan berusaha mengambilnya
tetapi tetap memperhatikan kejanggalan-kejanggaln barat yang disikapi dengan
harus diwaspadai dan kemudian bahkan dilarang untuk meniru.[5]
Setiap umat Islam seperti
diterangkan diatas telah juga membentuk pola tersendiri dalam memberi tanggapan
mereka dalam merumuskan kembali definisi negara Islam. Dalam masalah ini
pemikiran terbagi menjadi tiga kelompok pendapat.[6]
Pendapat pertama menyatakan bahwa Islam adalah agama yang sempurna
dan lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan manusia termasuk
masalah kehidupan bernegara. Karena itu menurut mereka umat Islam tidak perlu
mengadopsi sistem kenegaraan Barat.. malah sebaliknya agama Islam dihimbau
kembali kepada sistem ketatanegaraan Islam sendiri dengan menunjukan
contoh negara yang dibentuk oleh Nabi Muhammad dan empat khulafur
Rasyidin.
Golongan kedua berpendapat
bahwa Islam adalah hanya sebagai suatu agama saja, tidak ada hubunganya dengan
masalah kenegaraan. Menurut mereka Nabi Muhammad hanya diutus kedunia hanyalah
seorang rasul biasa seperti halnya rasul-rasul sebelumnya dengan tugas hanya
untuk menyempurnakan akhlak manusia. Nabi tidak pernah mendapat tugas
untuk mendirikan dan menggepalai suatu negera. Dia sendiripun tidak pernah
bermaksud seperti itu.
Golongan yang ketiga
berpendapat bahwa Islam tidak merupakan suatu agama yang serba lengkap yang
didalamnya terdapat suatu sistem kenegaraan yang lengkap pula. Namun mereka
berpendapat disana terdapat sejumlah tata nilai dan etika yang dapat dijadikan
sebagai pedoman dalam kehidupan negara.[7]
Dalam paradigma Munawir
Sjadzali sedikit berbeda M. Din Syamsuddin merumuskan dalam bentuk peradigma
lain. Ada tiga paradigma yang dimunculkan oleh beliau mengenai hubungan agama
dan negara. Pertama, agama dan negara tidak dapat dipisahkan
(Integreted). Wilayah agama juga meliputi politik. Dengan kata lain negara
merupakan lembaga politik dan sekaligus lembaga keagamaan. Dalam negara ini
pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar kedaulatan Tuhan karena memang
kedaulatan itu berasal dan berada di Tangan Tuhan. Paragdima ini dianut oleh
kelompok syiah. Paradigma politik syiah memandang bahwa negara adalah lembaga keagamaan
dan punya fungsi keagamaan. Paradigma menurut M. Din Syamsuddin juga dianut
oleh kelompok Fundamentalis Islam yang diantara pemimpinnya adalah Mawdudi. Kedua
,memandang agama dan negara sehubungan secara simbolik yaitu berhubunggan
timbal balik dan saling memerlukan. Dalam hal ini agama memerlukan negara,
karena dengan negara agama dapat berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama
karena dengan agama negara dapat berkembang dalam bimbinggan dan etika dan
moral.
Menurut Din Syamsuddin
pandangan ini juga didapati pada tokoh abad pertengahan seperti Al-mawardi dan
Al-Ghazali. Ketiga, bersifat sekularistik.Paradigma ini
menolak baik hubungan integralistik maupun simbiotik antara agama dan negara.
Paradigma ini mengajukan pemisahan antara agama dan negara dan menolak
pendasaran negara kepada Islam. Salah seorang pemrakarsa paradigma ini adalah
Ali Abd Al-Raziq. Islam tidak mempunyai kaitan apapun dengan sistem
pemerintahan kehkalifahan. Termasuk khalifah Ar-rasyidun bukanlah sebuah sistem
politik keagamaan atau keislaman tetapi sisten duniawi[8]
Masih dalam permasalahan-
permasalahn diatas Kuntowijoyo misalnya mengatakan: “ Banyak orang, bahkan
pemeluk Islam sendiri, tidak sadar bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi
juga sebuah komonitas tersendiri yang mempunyai pemahaman , kepentingan dan
tujuan-tujuan politik sendiri. Banyak orang beragama Islam adalah agama
individual , dan lupa kalau Islam juga merupakan kolektivitas. Sebagai
kolektivitas , Islam mempunyai kesadaran, struktur dan mampu melakukan aksi
bersama”.[9]
Peryataan tersebut
selanjutnya dibuktikan oleh beliau secara meyakinkan dalam bukunya itu, bahwa
Islam memiliki konsep tentang politik.
Keterkaitan agama Islam dengan aspek politik selanjutnya dapat
diikuti dari uraian yang diberikan Harun Nasution dalam bukunya Islam
Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Dalam bukunya Harun Nasution
malah menegaskan bahwa persoalan yang peretama-tama timbul dalam Islam menurut
sejarah bukanlah persoalan tentang keyakinan melainkan persoalan politik.[10]
Ketika Nabi Muhammad berada di kota Madinah misalnya bukan hanya
mempunyai sifat rasul Allah, tetapi juga mempunyai sifat kepala negara, maka
setelah beliau wafat mesti diganti oleh orang lain untuk memimpin negara yang
beliau tinggalkan.
Para peneliti sejarah
politik ada yang mengatagorikan bahwa corak politik yang diterapkan oleh Nabi
Muhammad adalah bercorak teo-demokratis, yaitu pola pemerintahan yang dalam
menyelesaikan setiap persoalan terlebih dahulu melakukan musyawarah baru
kemudian menunggu ketetapan dari Tuhan . Hal ini dimungkinkan karna pada masa
Nabi Muhammad SAW wahyu masih dalam proses turunnya.
C. SETITIK PENDAPAT PENULIS
Terlepas dari semua
perbedaan pendapat para pemikir-pemikir Islam tersebut. Penulis berpendapat
bahwa apa yang diperdebatkan masing-masing kelompok itu tidaklah sepenuhnya
salah dan juga tidak sepenuhnya benar. Kita sebenarnya tidak perlu saling
memojokan satu sama lain karena inilah kelemahan-kelemahan Islam yang melanda
umat sekarang. Mereka saling mengajukan argument-argumen masing-masing dan
tidak melihat argument orang lain yang sebenarnya mereka itu adalah bersaudara.
Satu hal yang sebenarnya yang perlu kita sadari bahwa Al-Quran tidak pernah
menyinggung dan juga tidak pernah menentukan bagaimana sistem pemerintahan yang
baku menurut Al-quran. Namun Al-quran tetap memerintahkan akan adanya sebuah
kepemimpinan dikalangan kaum muslimin. Karena seorang pemimpin itu sangat
diperlukan dalam sebuah kelompok. Sebagaimana dalam Al-quran surah
al-Nisa ayat 47 terdapat perintah mentaati ulil amri . Dalam makna ayat
tersebut dimaksudkan bahwa Islam tidak mengajarkan ketaatan buta terhadap
pemimpin. Islam menghendaki suatu ketaatan kritis, yaitu ketaatan yang
didasarkan pada tolak ukur kebenaran dari tuhan, jika pemimpin tersebut
berpegang teguh pada tuntunan Allah dan Rasul-Nya maka wajib ditaati.
Sebaliknya jika pemimpin tersebut bertentangan dengan kehendak Allah dan
rasul-Nya maka boleh diberi kritik atau diberi saran agar kembali kejalan yang
benar dengan cara-cara persuasif. Dan jika cara tersebut juga tidak
dihiraukan oleh pemimpin tersebut, maka boleh saja untuk tidak dipatuhi.[11]
Dalam sejarah kita mengenal
berbagai bentuk pemerintahan seperti republik yang dipimpin presiden, Kerajaan
yang dipimpin raja, dan banyak sitem-sistem yang lain. Namun, Islam tidak
pernah menentukan bentuk pemerintahan tertentu. Jadi setiap bangsa boleh saja
menentukan bentuk negaranya masing-masing sesuai seleranya. Namun, yang
terpenting bentuk pemerintahan tersebut harus digunakan sebagai alat untuk
menegakkan keadilan, kemakmuran, kesejahteraan keamanaan, kedamaian dan
ketentraman masyarakat.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari berbagai
permasalahan-permasalahan (perbedaan pendapat) yang terjadi dikalangan
pemikir-pemikir Islam tentang sebuah pemerintahan Islam seharusnya tidaklah
menjadi sebuah kelompok yang saling menjatuhkan. Islam memang perlu seorang
pemimpin, yang menjadi panutan seluruh masyarakat. Namun perlunya sebuah
pemerintahan atau sistemnya, nampaknya tidak usah terlalu mempermasalahkan hal
tersebut dengan cara kekerasan, apalagi saling tuding satu-sama lain. Karena
sebenarnya Rasulullah sendiri tidak pernah memjelaskan secara terperinci
bagaimana sistem pemerintahan itu. Yang terpenting bentuk pemerintahan tersebut
harus digunakan sebagai alat untuk menegakkan keadilan, kemakmuran,
kesejahteraan keamanaan, kedamaian dan ketentraman masyarakat.
Sebagai umat Islam yang
beriman dan bersaudara kita hendaknya jangan terlalu mementing sebuah keegoisan
kita masing-masing. Kita hidup bersosial yang tak lepas dari sebuah kehidupan
yang saling memerlukan. Apapun perbedaan yang terjadi diantara kita, apalagi
diantara kaum muslimin, kita seharusnya bisa berlaku bijak bahwa pemikiran kita
tidaklah sama dengan apa yang pikirkan.orang lain.
SARAN
Berdasarkan hal tersebut
diatas penulis menyarankan agar para pemikir-pemikir Islam agar lebih bersatu
dan lebih memikirkan keadaan ummat yang semakin jauh dari keimanaan. Hal ini
lebih penting dari pada kita harus berlomba saling menguatkan untuk kepentingan
suatu kelompok. Karena kita adalah agama yang satu dan jangan biarkan kaum yang
selalu ingin perpecahan antara kita terus tertawa dengan penuh kepuasan.
DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, M. Hasbi. 2000. Konsep Negara Islam menurut
Fazlur Rahman. Yogyakarta; UII Press
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Sistem pemerintahan Islam. Bangil;
Al- Izzah
As-Siba’I, Mustafa. 1992. Peradaban Islam dulu, kini, dan
Esok. Jakarta; Gema Insani Press
Jindan, Khalid Ibrahim. 1994. Teori Pemerintahan Islam
menurut Ibnu Taimiyah. Jakarta; Rineka Cipta
Maududi, Sayyid Abul A’la. 2000. Islam Way of Life.
Jakarta: Darul Falah
Nata, Abuddin.2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Pt. Raja
Grafindo Persada
Yatim, Badri. 1998. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta;
Raja Grafindo Persada
Shiddiqi, Naurrouzzaman 1996. Jeram-Jeram Peradaban
Muslim. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[1].Prof.Dr.
Nourrouzzaman shiddiqi, M.A. Jeram-Jeram Peradaban Muslim,(Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), h. 257
[2].Dr.
Mustafa As-Siba’I. Peradaban Islam Dulu, Kini, Dan Esok.(Jakarta:
Gema Insani Press, 1992), h.47
[3] Lihat
Majalah Al-Wa’ie, Edsisi 58
[4] M.
Hasbi Amiruddin. Konsep Negara Islam menurut Fazrlur Rahman (Yogyakarta:
UII Press, 2000), h. 77
[5] Ibid.h.78
[6] Ibid.h.78
[7] Penggolongan
semacam ini telah dirumuskan oleh H. Munawir Sjadzali dalam bukunya, Islam
dan Tata Negara, Ajaran Sejarah dan Pemikir ( Jakarta: UI Press,
1990), Hal. 1-2.
[8] Lihat
Din Syamsuddi, “ Usaha Pencarian Konsep Negara Dalam Sejarah Pemikiran Politik
Islam “ Ulumul Quran , No. 2, Vol. IV ( 1993 ), Hal. 4-9. Nampaknya perbedaan
perumusan paradigma Munawir Syadzali dan M. Din Syamsuddin adalah karena
berbeda pendekatan masalah . Munawir syadzali lebih melihat teori yang timbul
pada para pakar masa kontemporer disebabkan hegemoni politik Barat terhadap
islam beberapa dasawarsa sementara M. Din Syansuddin lebih melihat
pada metodologis, misalnya pada pendekatan penafsiran Al-qur’an yaitu antara
skiptularistik dan rasionalistik, antara idealistic dan realistic dan antara
formalistic dan substantivistik.
[9] Dr.
H. Abduddin Nata, MA. Metodologi Studi Islam, .(Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2000) h.269 lihat juga Kuntowijoyo, Identitas Politik
Ummt Islam, (Bandung: Mizan, 1997), h. 27.
[10] Harun
Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, (Jakarta:
UI Press, 1979), Cet. I, h. 92.
[11] Dalam
Hadis Nabi Muhammad SAW. Kita jumpai petunjuknya, bahwa mentaati pemimpin bagi
setiap muslim adalah merupakan kewajiban, tetapi apabila pemimpin tersebut
memerintah perbuatan dosa, maka boleh ditentang (HR. Bukhari Musliam)
0 comments:
Post a Comment