KEMBALI MENJADI HMI
Himpunan Mahasiswa
Islam atau HMI merupakan sebuah organisasi yang bisa dibilang cukup popular di
kalangan mahasiswa, khususnya mahasiswa aktivis. HMI memiliki sejarah panjang
sejak awal-awal kemerdekaan Indonesia. 58 Tahun yang lalu, sejak masuk secara
resmi pada tahun 1957 di Kalimantan melalui Banjarmasin, HMI sudah banyak
menelurkan kader-kader yang berkualitas
di Kalimantan. Banyak kader-kader HMI yang menempati posisi-posisi penting
seperti di bidang politik, akademik, entrepreneurship dan di bidang lainnya. Sebagai
generasi yang lahir belakangan, sekarang nampaknya kader HMI seperti sedang
mengidap penyakit amnesia sejarah. Penyakit yang bisa melemahkan sendi-sendi
berorganisasi. Kita hampir tidak belajar banyak terhadap kesuksesan dan
keberhasilan generasi sebelum kita. Justru meskipun bicara sejarah, cendrung kita
hanya menggingat dan bernostalgia tanpa mengambil pelajaran dari masa lalu.
Namun yang paling
penting, meski mengingat sejarah merupakan suatu upaya yang harus dilakukan.
Kita juga harus cerdas memilih dan memilah yang mana yang harus dijadikan
“kiblat” organisasi dan mana yang tidak untuk diteladani. Meskipun begitu, nostalgia
sejarah harusnya tidak menjadikan kita terus terbuai sehingga membuat kita lupa
dengan fakta masa kini. Salah satunya adalah dengan cara terus melakukan
evaluasi dan introspeksi terhadap fenemona-fenomena elementer yang terjadi di
pelataran HMI sekarang.
Bolehlah kita
bertanya, bagaimana kondisi HMI (kader) sekarang? Bagaimana gerakan HMI di
zaman yang semakin kompleks ini? Masih kuatkah posisi HMI di kalangan mahasiswa
dan masyarakat? Pertanyaan sederhana ini nampaknya juga berlaku untuk
dilontarkan kepada kader-kader HMI di Kalimantan Selatan. Anggaplah itu semacam
pertanyaan sederhana orang yang tidak mengetahui betul sejauh mana keberadaan
HMI saat ini. Yah, paling tidak ini masih jauh lebih ringan dibanding ucapan
maestro HMI, Cak Nur, yang menyentak dengan menyebutkan bahwa HMI sudah
selayaknya membubarkan diri karena dianggap tugas sejarahnya sudah
selesai.
Meminjam teori kritisisme
bahwa dalam tradisi ilmu pengetahuan, ia selalu memiliki sifat yang berkembang.
Secara sederhana, kritisisme adalah tindakan mengkritik yang lama dan membangun
yang baru. Dalam konteks organisasi, budaya organisasi yang telah lama mengakar,
yang dianggap sudah tidak mampu menjalankan peranan dan fungsinya secara total
maka ia patut digeser dan digantikan dengan budaya dan perspektif baru yang
lebih mampu dan memiliki hasil yang jauh lebih unggul dan lebih utuh.
Diantara ciri yang
melekat pada kaum intelektual adalah bersedia di tegur dan siap menghadapi
kritik. Meminjam apa yang pernah di sampaikan salah satu senior HMI, Anas
Urbaningrum, bahwa kritik itu dapat dipahami dalam dua aspek. Pertama, kritik
dianggap sebagai bentuk harapan atau paling tidak sebagai care (kepedulian) dari sang pengkritik. Bisa juga yang kedua
sebagai social capital yang
diharapkan mampu menjadi peransang perbaikan internal (internal correction).
Kondisi Kader HMI Kalimantan
Selatan
Setiap orang tentu
memiliki penilaian berbeda terhadap sesuatu. Namun jika penilaian itu sudah
menjadi penilain kolektif dan mayoritas, maka penilaian tersebut sudah harus
patut diperhitungkan dan dijadikan bahan introspeksi. Sekarang ini, meski
mungkin saya tidak bisa menjelaskan secara statistik atau bahkan tidak didasari
penelitian ilmiah. Namun jika kita mau sedikit saja lebih jujur melakukan perbandingkan
antara HMI dulu dan HMI sekarang, tentu kita akan mengakui bahwa HMI hari ini,
khususnya HMI Kalimantan Selatan, sudah banyak mengalami kemunduran. Baik itu
dalam konteks kajian keilmuan, kajian keislaman, budaya diskusi, budaya
membaca, budaya menulis apalagi terlibat dalam membangun bangsa dan daerah ini.
Bagaimana mungkin HMI
bercita-cita menjadikan daerah ini berkembang dan maju. Sedangkan kadernya
malas membaca, malas diskusi dan malas belajar. Bukankah HMI adalah organisasi mahasiswa?
Tentu sebagai oraganisasi yang memiliki basis domain di kalangan mahasiswa,
harusnya intelektualitas mahasiswa itu juga melekat di dalam tubuh kader dan organisasi
tersebut. Mestinya iklim ilmiah dan forum diskusi lebih banyak porsinya
ketimbang forum-forum nir-intelektual. Jika dulu orang tertarik masuk dan
menjadi kader HMI karena HMI intens melakukan kajian-kajian yang bersifat
ilmiah. Lalu sekarang apa daya tarik dan daya tawar (bargaining position) yang dimiliki oleh HMI?
Krisis internal di
dalam tubuh HMI ini berakibat pada turunnya minat kepercayaan mahasiswa untuk
masuk dan menjadi kader HMI. Animo mahasiswa terhadap HMI saat ini terlihat
sangat kurang. Saya khawatir HMI hanya akan menjadi alat oknum yang ingin
mendompleng nama HMI lalu menjadikan HMI sebagai kendaraan politik saja, yang
belakangan saya lihat akar-akar ini sudah mulai muncul. Sehingga jangan heran
jika suatu saat menemukaan kader yang memiliki motivasi masuk HMI karena ingin
menjadi ketua BEM atau ketua Senat, misalnya. Bercita-cita menjadi ketua
BEM/Senat itu sama sekali tidak salah. Kader sah menjadi apa saja yang dia
inginkan, dan HMI saat itu memang harus hadir sebagai motivator dan
mengakomodasi keinginan kader. Namun itu saja tidak cukup, itu bukanlah tujuan
akhir ber-HMI. Sebab tujuan HMI sebenarnya adalah apa yang tertuang di dalam
konstitusi (Visi dan Misi) HMI itu sendiri. Terbinanya
Insan Akademis, Pencipta, Pengabdi yang bernafaskan Islam dan Bertanggungjawab
atas Terwujudnya Masyarakat Adil Makmur yang di Ridhai Oleh Allah SWT.
Siapa yang
bertanggungjawab atas fenomena organisasi yang terjadi hari ini? Kini bukanlah
saatnya mencari siapa yang salah dan siapa yang bertanggungjawab. Kader-kader (muda
ataupun biasa) bahkan Alumni (KAHMI) harus mengambil bagian dalam perbaikan dan
pembenahan organisasi yang kita cintai ini.
Student Need, Student Interest
Student
Need
dan Student Interest adalah diskusi
panjang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan keperluan mendasar mahasiswa. Harusnya
poin inilah yang menjadi fokus perhatian HMI. Kader-kader HMI sudah saatnya
mengambil alih posisi strategis dan vital di setiap lini dan ruang kegiatan
kemahasiswaan. Tidak hanya diartikan dalam konteks posisi politis, namun yang
jauh lebih penting adalah di dalam konteks akademis dan ke-Islaman. Boleh
ditanya, secara sederhana, seberapa kuat kiprah aktivis HMI di dalam
diskusi-diskusi ruang kuliah saat ini? Sudahkah mereka menjadi sosok role model yang memberikan stimulus
positif terhadap mahasiswa lain? Sudahkah mereka menjadi mercusuar gerakan
mahasiswa di kampus-kampus dan daerah? Sehingga jika demikian hasil yang sudah
di raih maka HMI akan memiliki brand image atau identity yang dianggap mampu memberikan value added (nilai tambah) kepada mahasiswa lain.
Bukankah organisasi
merupakan alat yang terlahir dari refleksi kebutuhan manusia-manusia yang
memiliki keinginan namun tidak mampu merealisasikan secara sendiri-sendiri.
Oleh sebab itulah kenapa student need
dan student interest harus menjadi
perhatian penting HMI. Maka jika ada kader yang menginginkan atau memiliki
ekspektasi tinggi terhadap organisasi ini, itu merupakan hal yang sangat wajar.
Disana lah akan terlihat bahwa HMI memang menjadi salah satu wadah yang dibutuhkan oleh mahasiswa, dan
tugas HMI adalah membantu merealisasikannya.
Re-interpretasi Visi
dan Misi HMI
Visi dan Misi HMI
yang tertuang dengan jelas tersebut merupakan janji-janji kader yang terus dilafazkan
dalam setiap kesempatan kegiatan formal maupun nonformal HMI. Janji-janji
tersebut tentu menjadi satu ikrar yang sakral dan sudah seharusnya mampu
diwujudkan dalam segala bentuk tingkah-laku kader-kader HMI. Sebagai organisasi
kemahasiswaan yang memiliki nilai (Value)
yang besar dan mulia, menawarkan pengetahuan (Knowledge) dan memberikan kemampuan/ketrampilan (Skills). Tentu semua itu akan menjadi
nilai tambah (value added) bagi
organisasi ini.
Namun, pada
kenyataannya kualitas tersebut masih menjadi semacam mitos di tubuh HMI Kalimantan Selatan. Semakin hari eksistensi dan
peranan HMI semakin memudar, meski tidak bisa juga disebut hilang. Oleh karena
itu perlu untuk melakukan rekonstruksi atau reinterpretasi terhadap nilai-nilai
yang terkandung di dalam visi dan misi tersebut. Setidaknya ada tiga aspek yang
bisa saya lihat dalam bahasan ini.
Pertama, Knowledge Production. Ini merupakan
sebuah paradigma penting dalam upaya melakukan re-interpretasi terhadap Visi
dan Misi HMI . Sebab, tugas “Insan Akademis dan Pencipta” yang dimaksud dalam
visi HMI adalah mampu memproduksi keilmuan-keilmuan baru atau memperluas
cakupan-cakupan serta kajian-kajian keilmuan yang sudah terbentuk. Pengetahuan
atau ilmu bukan sebuah konstruksi yang permanen, dia bersifat dinamis. Sehingga
ia perlu diperbaharui sesuai dengan kebutuhan zaman. Diantara yang dapat
dilakukan adalah dengan menghidupkan dan melakukan semangat penelitian. Dengan
melakukan penelitian maka HMI akan mampu memproduksi pengetahuan/ilmu, yang
pada akhirnya memberikan result
sebagai bentuk solusi dari banyaknya permasalahan di masyarakat.
Kedua,
Knowledge Mobilization. Komponen ini
merupakan lanjutan dari proses memproduksi pengetahuan. Proses ini sebagai
bentuk upaya HMI dalam menyebarkan pengetahuan/keilmuan (share knowledge) yang telah dihasilkan, bisa berbentuk pendidikan,
pelatihan atau diskusi. Ini juga merupakan bentuk dari interpretasi visi “Insan
Akademis”. Sehingga pengetahuan atau hasil penelitain tidak hanya berakhir dalam
bentuk buku-buku yang menghiasi rak-rak perpustakaan. Namun juga disampaikan
dan diajarkan demi terwujudnya pemerataan pengetahuan dikalangan kader HMI dan
juga masyarakat pada umumnya.
Ketiga,
Community Mobilization. Menciptakan,
memproduksi, memperluas pengetahuan secara teoritis dan melakukan
kajian-kajiannya dalam forum-forum diskusi tidaklah cukup. “Insan Pengabdi”
mestinya mengharuskan kader untuk lebih impelementatif terhadap keilmuan yang
sudah didapat. Keharusan untuk memobilisasi kebutuhan masyarakat adalah kewajiban
yang tak dapat dihindari oleh kader HMI. Sebab dengan melakukan pengabdian,
kader baru bisa dan layak di sebut sebagai kader yang betul-betul unggul dan
berkualitas seperti yang dijanjikan oleh Himpunan Mahasiswa Islam.
HMI tidak
menginginkan kadernya hanya mampu berwacana namun lemah dalam aksi lapangan.
“HMI untuk Rakyat” seperti yang terus disampaikan oleh Ketum PB HMI dalam
setiap kesempatan, menurut saya, sudah cukup menjadi kabar gembira buat kita. Tidak
berlebihan jika Jenderal Soedirman pernah mengemukakan bahwa HMI adalah
“Harapan Masyarakat Indonesia”. Sebab peran dan fungsi kader HMI sebagai
generasi akademis yang Islami memang menjadi harapan Bangsa dan Masyarakat
Indonesia untuk melakukan perbaikan terhadap keadaan bangsa Indonesia. Jika ini
mampu kita hidupkan, maka HMI akan menjadi kiblat gerakan mahasiswa khususnya
di Kalimantan Selatan.
Mungkin
apa yang saya lihat ini hanyalah segelintir masalah internal di dalam tubuh
HMI. Tentu jika kita mau lebih jujur lagi melihat organisasi yang sama-sama
kita cintai ini, akan banyak sekali potensi-potensi virus yang harus segera
kita basmi dan tuntaskan. Jika kita mencintai organisasi ini, tentu sudah
selayaknya lah kita rawat baik-baik. Bila ada goresan yang membuatnya tidak
seksi lagi, tidak ada cara lain selain kita dandani dan make over agar kembali terlihat cantik. Mari kita kembali ber-HMI,
dengan sebenar-benarnya HMI. Wallahu A’lam.
Banjarmasin,
28 April 2015